Para aktivis memberikan catatan kritisnya terhadap draft RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Catatan kritis tersebut antaralain, tentang ibu yang seolah-olah diposisikan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab pada anak. Ini bisa menyebabkan langgengnya konsep ibuisme. Juga minimnya pelibatan organisasi yang memperjuangkan perempuan dalam penyusunan RUU ini.
Kejar tayang pembahasan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA, cukup bikin kaget kalangan aktivis perempuan dan masyarakat sipil.
Hampir dua tahun minim kabar, DPR RI tiba-tiba saja sudah merampungkan pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan (KIA). Sebelumnya, RUU ini bernama RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).
RUU KIA jadi usulan inisiatif DPR pada Sidang Paripurna 30 Juni 2022 dan ditindaklanjuti dengan penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) oleh pemerintah.
Berdasarkan perkembangan pembahasan muatan substansi pada RUU oleh Panitia Kerja (Panja) pada 3 April dan 14 Juni 2023, RUU ini kemudian disepakati untuk berfokus pada ‘Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan’.
Laman resmi DPR RI menyebut, RUU tersebut hanya mendefinisikan 1.000 hari pertama kehidupan anak, dan bukan definisi anak. Definisi anak telah didefinisikan dalam UU lain seperti UU Perlindungan Ibu dan Anak. Maksud 1.000 hari pertama kehidupan anak adalah seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia dua tahun.
Ada sejumlah pasal progresif dalam RUU ini, seperti cuti bagi ibu melahirkan selama 3-6 bulan dan cuti ayah ketika istrinya melahirkan 2-3 hari.
Namun RUU ini juga dikritisi oleh para aktivis perempuan, salah satu yang paling santer diperbincangkan dalam RUU ini adalah ketika nama RUU nya adalah Kesejahteraan Ibu dan Anak. Ini seolah-olah urusan anak adalah urusan ibu. Jika ada ayah tunggal atau single father, ini bisa jadi multitafsir: apakah laki-laki tak diakui sebagai orang yang mampu mengurus anak?
Hal lain, RUU ini juga bisa menyebabkan kembali langgengnya konsep ‘ibuisme negara’ di masa orde baru bahwa urusan anak adalah urusan ibu.
Lalu ada juga pasal yang berisi kewajiban Ibu dan ayah memberikan air susu eksklusif bagi anak selama 6 bulan. Memang pasal ini seolah-olah jadi kewajiban ibu dan ayah, tapi yang punya air susu eksklusif itu ibu, bukan ayah. Artinya kewajiban itu diberikan beban pada ibu. Karena ini kewajiban, maka kalau tidak dilaksanakan bisa kena sanksi si ibu sang pemilik ASI.
Pada pasal 6 ayat 4 point C, suami berkewajiban mendukung istri memberikan air susu eksklusif pada anak selama 6 bulan. Memang kata yang dipakai kewajiban “mendukung”. Jadi suami seperti aktor “pengawas” istri untuk memastikan memberikan ASI eksklusif pada anaknya walau katanya “mendukung”.
Dan dalam waktu secepat kilat, DPR akan segera memboyong RUU ini dalam pembahasan tingkat II di rapat paripurna terdekat. Rencananya, itu digelar di awal April jelang masa reses lebaran ini.
Konde.co berbincang dengan beberapa aktivis perempuan, termasuk mengikuti konsolidasi mereka, serta menerima pernyataan resmi soal problematiknya RUU ini, setelah sebelumnya, juga mempelajari draft terbaru RUU KIA yang berisikan 9 bab dan 46 pasal.
Ketentuan yang diatur meliputi Hak dan Kewajiban, Tugas dan Wewenang, Penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak, Data dan Informasi, Pendanaan, dan Partisipasi Masyarakat.
Dari proses penelusuran Konde.co, setidaknya ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa RUU KIA ini dianggap problematik. Kalangan masyarakat sipil ada yang mendorong untuk penundaan pengesahan agar dikaji kembali, bahkan ada pula yang secara tegas menolak adanya RUU ini. Berikut rangkuman kami:
1.Tumpang Tindih dan Tak Ada Urgensinya
Para aktivis yang tergabung dalam Save All Women and Girls (SAWG) mengkritik adanya beberapa ketidaksesuaian dan tumpang tindih yang signifikan antara RUU KIA dan Undang-Undang Kesehatan No.17 tahun 2023.
Di dalam UU Kesehatan, kesejahteraan ibu dan anak dijelaskan pada pasal 22, pasal 40, pasal 41, pasal 43 yang juga mengatur terkait hak kesehatan ibu dan anak. Pemberian ASI juga telah diatur dalam UU Kesehatan pasal 42. Saat ini, RPP dari UU Kesehatan juga sedang disusun oleh Kementerian Kesehatan, dimana pengaturan yang lebih detail soal kesehatan ibu dan anak juga telah dimasukkan. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan efisiensi dalam penyusunan undang-undang.
Hal itu diamini oleh Nanda Dwinta, aktivis perempuan dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Alih-alih membuat UU yang tumpang tindih dan berulang (redundant) menurutnya harusnya mengefektifkan implementasi aturan-aturan yang sudah ada.
“Yang diperlukan itu memperkuat UU yang sudah ada. Seperti, UU Kesehatan yang sudah mengatur kesehatan ibu dan anak. Harusnya pemerintah mengatur tata laksana turunan UU Kesehatan,” ujar Nanda ketika dihubungi Konde.co, Rabu (3/4/2024).
Dia melanjutkan, adanya rancangan undang-undang yang baru ini juga memiliki implikasi menambah pembiayaan negara untuk menjalankan implementasinya. Maka, tidak bijak untuk mengesahkan undang-undang baru dengan pengaturan substansi yang menyerupai regulasi lain yang sudah ada.
Senada dengan Nanda, SAWG juga menekankan pada pentingnya upaya penyempurnaan undang-undang yang sudah ada daripada membuat aturan baru yang menghasilkan duplikasi dan kebingungan hukum. Sebagai contoh, saat ini aturan terkait layanan aborsi bagi korban kekerasan seksual dan indikasi darurat medis di UU Kesehatan, serta turunan UU TPKS No.12 tahun 2022 sampai saat ini belum terimplementasi.
“Harusnya ini kan (RUU KIA) sebuah terobosan inovasi, yang memperkuat UU lain. Kalau begini, apa urgensinya?,” tanya Nanda.
2.Pembatasan Ketubuhan Perempuan
Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) mengatakan, RUU KIA ini memuat kewajiban-kewajiban kepada perempuan yang harus dilihat dampak pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perempuan lainnya. Mereka berpandangan kewajiban untuk memberikan ASI berpotensi membatasi ketubuhan perempuan.
Disebutkan dalam RUU KIA Pasal 12, kewajiban perempuan untuk memberikan ASI eksklusif sejak anak dilahirkan sampai berusia 6 (enam) bulan dan dilanjutkan sampai dengan anak berusia 2 (dua) tahun disertai makanan pendamping ASI.
Tercatatnya di RUU kewajiban perempuan hamil dan melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif itu, dianggap bermasalah. Sebab tak mempertimbangkan kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi perempuan.
Meski tak ada sanksi pidana jika kewajiban ASI eksklusif itu tidak bisa dipenuhi, namun pengharusan itu bisa melanggengkan stigma kepada perempuan. Apabila dia tidak dapat memberikan ASI eksklusif kepada anaknya yang diperbantukan susu formula.
“Apakah kesejahteraan ibu dan anak hanya sebatas anaknya disusui dengan ASI eksklusif atau enggak? Padahal ada banyak aspek sosial, kesehatan yang perlu dibahas dalam UU ini,” ujar Naila Rizqi dari KOMPAKS kepada Konde.co, Selasa (3/4/2024).
RUU KIA ini bukannya memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya mensejahterakan ibu dan anak, tapi malah mengatur perempuan.
“Perempuan harus ngapain, ibu harus ngapain di 1000 hari kelahiran (HK),” imbuhnya.
3.Pembatasan Peran Publik Perempuan
Jaminan cuti melahirkan bagi perempuan sebanyak 6 bulan dan cuti pendamping bagi ayah atau keluarga 40 hari, berpotensi membatasi peran publik perempuan dalam mendapatkan pekerjaan.
Meski ada larangan memberhentikan perempuan yang sedang menjalankan fungsi maternitasnya, tapi ini berpotensi menjadikan dunia usaha membatasi rekrutmen pada pekerja perempuan. Bisa jadi pula adanya pembatasan agar perempuan disyaratkan tidak hamil dalam jangka waktu tertentu.
Di sisi lain, realitas di lapangan saja, cuti melahirkan 3 bulan yang diberlakukan pada UU Ketenagakerjaan, masih banyak dilanggar. Catahu Komnas Perempuan tahun 2021 mencatat 18 buruh perempuan keguguran akibat kondisi kerja yang buruk. Sedangkan Catahu 2022 menyebutkan ada 108 kasus kekerasan di dunia kerja, mencakup pelanggaran hak-hak dasar seperti hak perlindungan kerja yang layak dan hak bebas dan diskriminasi dan kekerasan termasuk pelanggaran hak maternitas (cuti haid, hamil, melahirkan).
Komnas Perempuan juga menemukan masih ada pembatasan kesempatan kerja oleh korporasi terkait fungsi reproduksi perempuan.
4. Pembakuan Peran Domestik Perempuan
Ketentuan dalam RUU KIA berpotensi berdampak berbeda terhadap perempuan yang akan bekerja dan semakin membakukan peran domestik perempuan. Perbedaan waktu cuti yang sangat signifikan selanjutnya, menjadi indikasi bahwa peran pengasuhan anak masih dititikberatkan hanya kepada perempuan.
Dukungan penuh dari pasangan selama proses hamil, melahirkan dan pasca melahirkan tidak kalah pentingnya untuk menjamin kesejahteraan perempuan dan anak yang dilahirkan. Memiliki anak idealnya adalah kesepakatan bersama antara pasangan, sehingga peran dalam pengasuhan seharusnya tidak dibebankan hanya kepada satu pihak saja. Namun, tidak terdapat pasal yang memberikan kewajiban pada Ayah.
Tidak ada penegasan bahwa laki-laki/ayah berkewajiban mengikuti pendidikan ini. Tanpa penegasan akan kewajiban laki-laki/ayah termasuk kewajiban untuk mengikuti pelatihan. Maka, ini akan tetap menjadikan perempuan sebagai sasaran programnya dan kembali membakukan stereotip perawatan sosial sebagai kewajiban perempuan semata.
RUU KIA ini bisa berpotensi melanggengkan ibuisme orde baru. Ini berkaitan dengan langgengnya pengungkungan atas moralitas perempuan. Sebagaimana yang ada dalam napas diciptakannya RUU Ketahanan Keluarga. Yaitu, definisi ibu adalah bagi seorang istri.
Dalam situs Komunitas Bambu, Julia Suryakusuma, seorang feminis intelektual di Indonesia, mengatakan pada masa orde baru perempuan menghadapi situasi yang tertekan. Peran ideal perempuan didefinisikan sebagai ibu, yang secara harfiah adalah ibu biologis. Namun, dalam konteks ini lebih sebagai ibu dan istri.
Pada tingkat tertentu, ibuisme ini merupakan bentuk eksplisit (jelas) atas doktrin patriarki yang mengingkari kekuatan sosial dan politik perempuan. Dalihnya, menetapkan wilayah perempuan hanya sebatas di rumah semata.
“Bagaimana keluarga dibangun sesuai dengan standar umum masyarakat, tidak menyimpang, tidak ada kejahatan seksual –dalam hal ini LGBT,” ucapnya.
5.Diskriminasi Pekerja Sektor Informal
RUU KIA lebih condong pada pengaturan hak cuti melahirkan dan cuti mendampingi yang hanya berlaku bagi pekerja di sektor formal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2023 jumlah angkatan kerja nasional sekitar 147,71 juta orang. Dari jumlah tersebut, mayoritasnya atau sekitar 82,67 juta orang (55,9%) bekerja di sektor informal.
Padahal, lebih banyak lagi perempuan yang bekerja di sektor informal. Termasuk di antaranya adalah perempuan pekerja rumah tangga yang upaya advokasi perlindungan hukumnya telah berjalan hampir dua dekade.
Hal ini akan menjadikan diskriminasi antara perempuan pekerja formal dan pekerja informal.
Minimnya Pelibatan Organisasi yang Memperjuangkan Nasib Perempuan
Di luar ini semua, RUU ini juga dianggap minim melibatkan para aktivis perempuan yang selama ini memperjuangkan isu perempuan.
Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika menyatakan yang ia kritisi adalah DPR tidak banyak melibatkan partisipasi publik dalam RUU ini. Padahal, aturan ini mengatur hajat hidup perempuan. Semua merasa kaget dengan RUU yang tiba-tiba akan menjadi UU.
“Minimnya partisipasi publik atau pelibatan organisasi perempuan yang selama ini memperjuangkan nasib perempuan. Kami kaget tiba-tiba ini akan menjadi UU,” kata Vivi Widyawati kepada Konde.co.
Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati menyatakan, di tengah sejumlah pertanyaan atas RUU ini, ia mengatakan bahwa KPI bukan menolak final RUU ini. Tetapi, ini perlu ditinjau ulang soal pengaturan, soal harmonisasi dengan kebijakan, bahkan program yang selama ini dijalankan seperti apa, lalu bagaimana mekanisme pengawasannya?.
“Poin-poin ini yang perlu dilihat ulang. Selama ini program yang dijalankan seperti apa dan bagaimana mekanisme pengawasannya ini?,” kata Mike Verawati.
Koalisi Masyarakat Sipil, KOMPAKS meminta DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU KIA. Di samping itu, juga membuka kesempatan dialog antara masyarakat sipil. Termasuk soal potensi-potensi dampak dari RUU KIA ini terhadap perempuan dan anak.
Sementara, SAWG mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU KIA pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan. Serta memusatkan perhatian pada penyusunan RPP UU Kesehatan dan peraturan turunan UU TPKS yang jauh lebih mendesak.
Tak kalah penting, mendorong pula DPR untuk memprioritaskan revisi aturan ketenagakerjaan. Utamanya agar memasukkan ketentuan cuti bagi perempuan hamil dan pendamping perempuan hamil, sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat.
penulis: Nurul Nur Azizah
sumber: Konde.co