Setiap tahunnya, pada tanggal 12 Agustus, para remaja memperingati Hari Remaja Internasional untuk merayakan hal-hal yang berkaitan dengan remaja. Hari Remaja Internasional pertama kali ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1998.
Hari Remaja Internasional 2021 mengusung tema “Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health”.
Tema Hari Remaja Sedunia tahun ini tersebut menyoroti keberhasilan upaya global yang tidak akan tercapai tanpa partisipasi dari kaum muda, demikian tulis PBB di laman resminya.
Masih dari sumber yang sama, isu dan prioritas yang disoroti oleh peserta muda antara lain adalah dampak pandemi COVID-19, khususnya terkait dampaknya terhadap kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan.
Telah diakui bahwa ada kebutuhan untuk mekanisme dukungan inklusif yang memastikan pemuda terus memperkuat upaya secara kolektif dan individual untuk memulihkan planet dan melindungi kehidupan, sambil mengintegrasikan keanekaragaman hayati dalam transformasi sistem pangan.
Dengan populasi dunia yang diperkirakan akan meningkat sebesar 2 miliar orang dalam 30 tahun ke depan, telah diakui oleh banyak pemangku kepentingan bahwa hanya memproduksi lebih banyak makanan sehat secara berkelanjutan tidak akan menjamin manusia dan. kesejahteraan planet. Tantangan penting lainnya juga harus diatasi, seperti keterkaitan yang diwujudkan oleh Agenda 2030 termasuk pengurangan kemiskinan; keterlibatan sosial; kesehatan; konservasi keanekaragaman hayati; dan mitigasi perubahan iklim.
Selama ECOSOC Youth Forum (EYF) 2021, isu dan prioritas yang disoroti oleh peserta muda antara lain dampak pandemi COVID-19, khususnya terkait dampaknya terhadap kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan. Sebagai bagian dari rekomendasi hasil resmi EYF, peserta muda menekankan pentingnya bekerja menuju sistem pangan yang lebih adil. Selain itu, mereka menyoroti perlunya kaum muda untuk membuat keputusan berdasarkan informasi tentang pilihan makanan melalui peningkatan pendidikan global tentang pilihan yang paling sehat dan paling berkelanjutan bagi individu dan lingkungan.
Ada juga rekomendasi untuk memberikan pengembangan kapasitas yang memadai terkait dengan ketahanan sistem pangan, khususnya selama pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung dan setelahnya. Sistem pangan tidak hanya mencakup elemen dasar bagaimana kita mendapatkan makanan dari peternakan ke meja makan, tetapi juga semua proses dan infrastruktur yang terlibat dalam memberi makan populasi, dan eksternalitas negatif yang dapat dihasilkan selama proses tersebut, seperti udara dan laut. polusi serta degradasi lahan ketika lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga hewan liar (penggurunan).
Ada juga risiko penyakit menular dari manusia ke binatang (zoonosis) yang dapat diakibatkan oleh praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dan krisis iklim. Kesehatan penduduk juga merupakan kunci dalam mengatasi tantangan sistem pangan, terutama karena penyakit kronis terkait gizi seperti obesitas, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan beberapa bentuk kanker merupakan kontributor utama beban penyakit global.
Remaja dan pangan yang sehat
Terdapat banyak permasalahan yang terjadi saat ini, termasuk permasalahan kesehatan remaja yaitu pola mana dan asupan gizi karena maraknya makanan cepat saji yang bisa berdampak buruk bagi remaja jika dikonsumsi berlebihan. Sehingga, diharapkan remaja menjadi penggerak atau agen pembangunan kesehatan yang mengajak teman sebaya, keluarga dan lingkungan sekitarnya untuk menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan dan gizi dengan baik.
Dilansir dari situs sehat negeriku milik Kemenkes, pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health Survey tahun 2015, antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi makanan berpenyedap (75,7%). Selain itu, remaja juga cenderung menerapkan pola sedentary life, sehingga kurang melakukan aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal ini meningkatkan risiko seseorang menjadi gemuk, overweight, bahkan obesitas.
Obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain yang berimplikasi pada penurunan produktifitas dan usia harapan hidup. Pada prinsipnya, sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur pola dan porsi makan dan minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur, banyak melakukan aktivitas fisik, hindari stres dan cukup tidur.
Salah satu masalah yang juga dihadapi remaja Indonesia adalah masalah gizi mikronutrien, yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja perempuan mengalami anemia, yang sebagian besar diakibatkan kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi). Anemia di kalangan remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki. Anemia pada remaja berdampak buruk terhadap penurunan imunitas, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran remaja dan produktifitas.
Selain itu, secara khusus anemia yang dialami remaja putri akan berdampak lebih serius, mengingat mereka adalah para calon ibu yang akan hamil dan melahirkan seorang bayi, sehingga memperbesar risiko kematian ibu melahirkan, bayi lahir prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi anak Indonesia lebih pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu lebih pendek 12,5cm pada laki-laki dan lebih pendek 9,8cm pada perempuan.
Stunting ini dapat menimbulkan dampak jangka pendek, diantaranya penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem metabolism tubuh yang pada akhirnya dapat menimbulkan risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas.
Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.