Belakangan ini banyak pihak yang mengampanyekan nikah di usia remaja atau anak untuk menghindari zina. Bahwa menikah lebih cepat itu oke. Pliss itu cuma mitos kuno yang mesti cepat kamu tingggalkan. Karena kenyataannya, perkawinan anak itu berisiko tinggi, apalagi bagi anak perempuan.
Sayangnya, pernikahan anak ini masih saja terjadi. Bahkan, di masa pandemi Covid-19 angka perkawinan anak meningkat hampir dua kali lipat. Data menunjukkan, pada tahun 2020 pengajuan dispensasi pernikahan anak melonjak hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Selain kehamilan tak diinginkan, faktor ekonomi dan faktor sosial juga turut menyumbang.
Kementerian PPN/Bappenas juga menyebut, pandemi Covid-19 mengakibatkan sekitar 400-500 perempuan usia 10-17 tahun berisiko menikah di usia anak. Peningkatan angka kehamilan tidak direncanakan (KTD) serta pengajuan dispensasi pernikahan atau pernikahan di bawah umur juga terus terjadi.
Pada tahun 2020, terdapat lebih dari 64 ribuan pengajuan dispensasi pernikahan anak di bawah umur. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibanding pengajuan di tahun 2019 yang tercatat 23.792 permohonan. Penyebab meningkatnya jumlah perkawinan anak pada masa pandemi ini antara lain adalah kehamilan tidak diinginkan, faktor ekonomi dan faktor sosial.
Sementara, penelitian yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan PLAN Indonesia di 7 kabupaten di Indonesia juga menemukan, selama masa pandemi banyak kasus perkawinan anak dilakukan secara agama atau tidak dicatatkan di KUA. Hal ini antara lain dipicu oleh kebijakan pembatasan yang mengharuskan staf pemerintah daerah bekerja di rumah (Work From Home/WFH), termasuk di kantor pencatatan sipil, KUA, dan pengadilan agama.
Apa yang menyebabkan angka perkawinan anak naik pesat selama pandemi? Penyebabnya macam-macam, salah satunya karena adanya dispensasi perkawinan yang dengan cepat diberikan, yang memudahkan anak untuk menikah
Inisiatif perkawinan anak bisa datang baik dari orangtua maupun anak. Di tingkat anak misalnya, inisiatif awal praktik perkawinan karena terdorong oleh keinginan mereka untuk mengikuti jejak temannya yang telah menikah terlebih dahulu. Anak meyakini bahwa temannya yang telah menikah memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Gaya berpacaran yang berisiko sering memicu kehamilan remaja perempuan dan berujung pada perkawinan anak.
“Labelin kawin usia anak itu oke, kawin usia dewasa itu tidak baik, ini kemudian menjadi kampanye efektif mengajak anak menikah cepat, padahal perkawinan anak sangat berisiko,” Dian Kartikasari, aktivis perempuan yang melakukan penelitian soal perkawinan anak pernah mengungkap hal ini.
Ditambahkan, dari informasi beberapa responden diperoleh informasi bahwa perkawinan anak menjadi sulit dipantau karena proses perkawinan anak dapat dengan mudah dilakukan secara adat tanpa harus ke KUA terlebih dahulu.
“Dikarenakan situasi pandemi Covid-19, beberapa orang tua melakukan praktik perkawinan anak dengan menggunakan modus ‘kawin siri’ terlebih dahulu tanpa melakukan pencatatan secara hukum di KUA sehingga tidak perlu menjalani prosedur perkawinan yang kompleks,” ujar Dian Kartikasari dalam diseminasi hasil studi perkawinan anak ini pada 4 Mei 2021 lalu.
Perkawinan anak sejatinya merupakan persoalan multidimensi. Kemiskinan, kondisi geografi, kurangnya akses terhadap pendidikan dan putus sekolah, ketidaksetaraan gender, konflik sosial dan bencana, ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi komprehensif, norma sosial yang menguatkan stereotip gender tertentu, misalnya perempuan seharusnya menikah muda, dan budaya atau intepretasi agama dan tradisi lokal adalah faktor yang ditengarai berkontribusi terhadap masih tingginya prevalensi perkawinan anak di Indonesia.
Perkawinan anak karena motif ekonomi juga cenderung meningkat. Kondisi ekonomi yang memburuk selama pandemi, berdampak pada merosotnya kemampuan ekonomi keluarga untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Responden di Rembang, Sukabumi, dan Donggala memberikan informasi terkait dampak ekonomi keluarga di masa pandemi Covid-19 ini telah meningkatkan angka kemiskinan yang memaksa beberapa orang tua untuk meminta anak berhenti sekolah akibat keterbatasan/ketiadaan biaya pendidikan.
Kemudian, atas pertimbangan ekonomi agar anak tidak menjadi beban finansial bagi keluarga maka orang tua kemudian menikahkan anaknya. Dalam perspektif orang tua, dengan menikahkan anaknya (anak perempuan) maka otomatis segala kebutuhan hidup anak tersebut akan menjadi kewajiban atau tanggungan suaminya.
Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta mengatakan, Data Kemenag menunjukan tingginya angka permohonan dispensasi selama pandemic. Menurutnya hal ini karena adanya gap/selisih perubahan usia minimum menikah dari 16 tahun ke 19 tahun.
Dampak dari pandemic Covid 19 dimana salah satunya berdampak pada ekonomi atau kesejahteraan sehingga memaksa orang tua mencari jalan keluar dengan menikahkan anaknya untuk keluar dari kemiskinan.
“Selain itu minimnya akses informasi/pendidikan akan Kesehatan Reproduksi (Kespro) bagi orang muda juga turut menyumbang,” ujar Nanda lagi.
Ia mengatakan, pada perkawinan anak perempuan lebih berisiko dirugikan, tak hanya dari kesehatan reproduksinya maupun bagi masa depannya.
Dari sisi kesehatan, tubuh anak masih berkembang sehingga perkawinan anak akan memicu serentetan akibat bagi tubuh perempuan.
“Selain itu dalam kasus perkawinan anak, perempuan sering tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Ini membuat kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan menjadi lebih kecil,” imbuhnya.
Perkawinan anak belum menurun secara signifikan
Nanda menambahkan, Pemerintah sebenarnya sudah mengesahkan dan memberlakukan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai revisi UU Perkawinan tahun 1974, yang mengatur usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun. Namun aturan ini belum efektif menurunkan angka perkawinan.
Mengatasi masalah ini diperlukan keterlibatan banyak pihak termasuk masyarakat sendiri. Bagaimana pemerintah dan masyarakat terlibat dalam mensosialisasikan perubahan usia minimum menikah sehingga dapat diketahui secara luas.
Isu kesejahteraan memang menjadi PR yang ditambah lagi dengan dampak pandemi, salah satu upaya mengatasi adalah dengan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan perempuan.
Minimnya informasi terkait kesehatan reproduksi dan seksual menjadikan remaja tidak dapat melindungi dirinya. Hal ini diduga terjadi karena kurangnya pemahaman akan risiko pilihan, yang pada akhirnya menyebabkan kehamilan tidak diinginkan yang mendorong praktik perkawinan anak.
“Situasi ini menjadikan mengapa YKP gencar melakukan pendidikan Kespro sebagai upaya preventif mencegah remaja akan risiko kehamilan yang tidak direncanakan yang berujung pada perkawinan anak,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya mengubah persepsi tentang pendidikan seksual. Menurutnya, pendidikan kespro tak sekadar tentang seks, tapi juga perlindungan kesehatan.
Oleh karena itu, para orangtua dan pendidik diminta untuk mulai terbuka membicarakan pendidikan seksual kepada putra-putrinya. Pendidikan seks ini harus dari sisi seksualitas dan kesehatan, dan penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan usia anak.
Sementara, Tim peneliti KPI yang terdiri dari Mike Verawati, Dian Kartikasari, Nazla Mariza, Bambang Wicaksono, Novita Anggraini, Ria Yulianti ini menemukan kemudahan dispensasi perkawinan menjadi celah dan berpotensi melemahkan upaya pencegahan perkawinan anak.
Perkawinan anak di 7 daerah penelitian yaitu kabupaten/kota yaitu Sukabumi (Jabar), Rembang (Jateng), Lombok Barat (NTB), Lembata (NTT), Palu, Sigi, dan Donggala (Sulteng) masih tergolong tinggi.
“Adanya perspektif hukum yang beragam sehingga pada banyak kasus permohonan dispensasi, hakim cenderung kurang/tidak melakukan pendalaman informasi dari sudut kepentingan anak selama proses peradilan dan pengambilan keputusannya. Pemberian dispensasi di Pengadilan Agama cenderung tanpa mempertimbangkan kedaruratan suatu perkara. Proses menghadirkan saksi ahli hanya berasal dari kesaksian calon mempelai dan keluarganya,” kata Dian Kartikasari
Studi juga menemukan setidaknya ada sembilan faktor yang menurut para informan menjadi pendorong praktik perkawinan anak di daerah yaitu sosial (28,5%), kesehatan (16,5%), pola asuh keluarga (14,5%), ekonomi (11,9%), teknologi informasi (11,1%), budaya (10,1%), pendidikan (5,6%), agama (1,4%), dan hukum (0,4%).
Tingkat kesadaran masyarakat juga sangat mempengaruhi praktik perkawinan anak. Pada kasus tertentu apabila dispensasi tidak dapat ditempuh maka masyarakat akan memilih cara lain yakni dengan melakukan perkawinan secara siri atau menikah di bawah tangan.
“Dalam situasi sosial seperti ini, perlu intervensi hingga ke akar rumput. Intervensi kebijakan saja tidak cukup untuk mengubah norma sosial dan perspektif masyarakat. Perlu diimbangi kampanye perubahan perilaku secara masif di akar rumput agar meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menurunkan kasus perkawinan anak di berbagai daerah,” ujar Dian Kartikasari
Beberapa pemerintah daerah telah merancang regulasi dan program pencegahan perkawinan anak ke dalam legislasi daerah, seperti RPJMD, Perda, Perbup/Perwali, RAD, dan RPJMDes. Namun, dibutuhkan dukungan dari pemerintah pusat terkait penyediaan panduan kebijakan teknis di lapangan agar secara efektif mampu mengimplementasikan kebijakan untuk menurunkan angka perkawinan anak.
Selain itu, perlu sosialisasi kepada pemerintah daerah yang belum memahami dan memiliki regulasi pencegahan perkawinan anak untuk turut bergerak, mengingat pencegahan perkawinan anak telah menjadi agenda nasional.
Efektivitas implementasi UU nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, khususnya terkait penerapan ketentuan batas minimal usia perkawinan masih menemui banyak tantangan. Sinergitas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan turunan UU Perkawinan masih belum optimal dalam menekan angka perkawinan anak di daerah.
Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa telah menyusun banyak regulasi dan program pencegahan perkawinan anak, baik dalam bentuk Stranas PPA, Peraturan Mahkamah Agung, Program Pusaka Sakinah, Perda, Surat Edaran Gubernur/Bupati/Walikota, Perdes, dan sebagainya.
Namun, faktanya jumlah perkara/permohonan dispensasi perkawinan anak masih tetap terus bertambah sepanjang waktu. Hasil riset KPI ini menunjukkan, angka perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat ke-4 tertinggi di Asia dan peringkat pertama di ASEAN.
Sedangkan modus perkawinan anak yang dilakukan orang tua, antaralain adalah memalsukan umur anak, melakukan perjodohan, pemaksaan kehendak demi menuruti norma setempat, dan kemudian mengawinkan anak sebagai ganti utang keluarga dan memaksa anak menikah karena keluarga setuju dengan nilai maharnya.
Alasan lainnya adalah kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), alasan ekonomi yang dibuat-buat agar dispensasinya dikabulkan oleh hakim, dan dinikahkan secara agama terlebih dahulu (nikah Siri), baru kemudian mengajukan permohonan nikah ke KUA pada saat usia telah mencukupi.
Anak muda melawan perkawinan anak
Faktor sosial berkontribusi pada tingginya perkawinan anak. Pengaruh pergaulan/lingkungan, pergaulan berisiko, kenakalan remaja, korban kekerasan seksual, keinginan orang tua untuk segera mendapatkan cucu atau menantu, adanya desakan masyarakat sekitar, mengikuti teman yang sudah menikah, hubungan tidak mendapatkan restu orang tua, atau keinginan kuat dari anak untuk menikah atas dasar hubungan percintaan.
Meningkatnya penggunaan internet dan media sosial (medsos) di kalangan anak dan remaja, telah menyebabkan perubahan gaya komunikasi dan interaksi sosial. Paparan beragam informasi dari internet terutama medsos dapat secara cepat dan mudah diakses oleh anak/remaja baik di perkotaan maupun perdesaan.
Paparan konten termasuk konten negatif –seperti pornografi, promosi perilaku pacaran berisiko pada remaja, informasi yang salah tentang seksualitas dan reproduksi, promosi perkawinan anak– turut menyumbang tingginya perkawinan anak.
Untuk itu anak muda di sejumlah daerah melakukan kampanye stop perkawinan anak. Salsa dari kelompok perlindungan anak desa (KPAD) Rembang misalnya mengampanyekan pacaran sehat dan kesehatan reproduksi dan mengajak perempuan bicara.
Sedangkan Rama Sayudhia KPAD Lombok Barat menggunakan internet untuk sosialisasi atau menggerakkan, tetapi bisa juga berpengaruh negatif.
Oleh: Mulat Esti Utami (Penulis merupakan peserta Media Gathering yang diadakan oleh YKP tahun 2021. Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’)
[…] kebijakan pemerintah, dan stakeholder terkait yang memiliki kepedulian terhadap upaya pencegahan perkawinan anak ini. […]
[…] kebijakan pemerintah, dan stakeholder terkait yang memiliki kepedulian terhadap upaya pencegahan perkawinan anak ini. […]
[…] Esti Utami, Mulat. “Kawin Usia Anak Itu Gak Oke, Hentikan Perkawinan Anak – Yayasan Kesehatan Perempuan.” Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan Kesehatan Perempuan, 11 Jan. 2022, https://ykp.or.id/kawin-usia-anak-itu-gak. […]