Perjuangan pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang komprehensif dan inklusif merupakan perjalanan panjang yang masih belum selesai. Berbagai upaya telah dilakukan banyak organisasi dan masyarakat baik edukasi, advokasi, hingga terlibat dalam penyusunan kebijakan serta implementasinya. HKSR sebagai hak dasar individu ini tidak dilihat sebagai satu urgensi pada pemenuhan hak warga negara.
Pemerintah merespon perhatian masyarakat terkait HKSR dengan bijak melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan yang berkaitan dengan HKSR. UU No. 36 tahun 2009, PP No. 61 tahun 2014, hingga pembasahan mengenai aborsi aman pada PMK No. 3 tahun 2016, UU TPKS dan turunannya, dan KUHP. Seluruh kebijakan ini menjadi harapan bagi masyarakat agar dapat mengakomodir terpenuhinya informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan inklusif, yang aman, bermutu, dan terjangkau. Walau sayangnya masih terdapat beberapa pasal pada kebijakan-kebijakan tersebut yang berpotensi menjadi penghambat masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi dan menjadi ancaman bagi pemenuhan HKSR komprehensif termasuk pada korban kekerasan seksual.
Pada tanggal 11 Juli 2023 lalu, pemerintah akhirnya mengesahkan adanya UU Kesehatan yang baru, yang dinilai lebih baik dari UU sebelumnnya, walaupun pro dan kontra terhadap proses dan substansi pada UU ini masih banyak ditemukan. Namun hal ini sebenarnya dapat menjadi peluang bagi masyarakat untuk menuntut pemerintah bertindak sesuai kebijakan dan kebutuhan masyarakat.
Adanya kebijakan-kebijakan ini tentunya juga harus diselaraskan dengan upaya edukasi dan pendampingan langsung di masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pemerintah tapi juga tenaga Kesehatan, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat dan masyarakat.
Berdasarkan SISDMK Dirjen tenaga kesehatan tahun 2023, mencatat sebanyak 620.103 orang perawat, 375.467 orang bidan, 186.336 orang dokter, 34.165 dokter gigi, 112.218 orang farmasi, 63.500 orang kesmas, 37.112 orang Gizi, dan 28.006 orang kesehatan lingkungan. Selain itu dari 7 spesifikasi dokter spesialis di Indonesia, jumlahnya mencapai 31.044 orang yang tersebar di Rumah Sakit di Indonesia. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sistem Kesehatan Indonesia memiliki kekuatan dari sisi tenaga pemenuhan Kesehatan. Namun tentu saja angka yang banyak ini tidak akan menjamin kualitas Kesehatan jika tidak melakukan tugasnya dengan maksimal.
Dari lingkup masyarakat, Bidan menjadi tenaga Kesehatan yang sangat membantu dan mudah untuk ditemukan. Praktik-praktik bidan di masyarakat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan Kesehatan terutama bagi perempuan, ibu dan anak. Peran bidan tidak hanya terlihat pada lingkup masyarakat perkotaan, namun ada hingga pedesaan bahkan dusun. Hal ini adalah hal baik dan patut disyukuri, karena tidak hanya memberikan pengobatan, bidan yang ada di lingkup desa hingga dusun juga berperan dalam pendampingan Kesehatan baik bagi kelompok perempuan dewasa hingga kelompok remaja.
Dalam acara bincang-bincang dalam bentuk podcast PowerPuan yang diadakan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), salah satu perwakilan bidan yang juga merupakan pengurus YKP Ibu Indra Supradewi mengatakan tugas bidan seharusnya tidak hanya menolong persalinan saja, namun sebetulnya bisa mendampingi atau mengawal kesehatan perempuan sepanjang siklus kehidupannya, mulai dari masa subur, mulai dari hamil, bersalin, nifas, menyusui, mengasuh anak, kemudian mendapingi ibu agar bisa menjaga jarak kehamilan hingga mengurus rumah tangga.
Maka jika tadi tugas bidan sebetulnya mendapingi perempuan sepanjang siklus kehidupannya, oleh karena itu remaja seharusnya bisa juga datang dan berkonsultasi dengan bidan untuk memeriksakan dirinya, lanjut bu Indra. Karena remaja itu mengalami proses dan fungsi reproduksi, misalnya, remaja perempuan itu mengalami menstruasi yang sebenarnya tanda kesuburan, jadi artinya kan harus dijaga dan menjaga remaja perempuan itu hamil pada tepat pada waktunya sekaligus menghindari dari risiko dan dampak dari perkawinan anak.
Melihat peran bidan yang “cukup berat” ini memang sebaiknya bidan tidak bekerja sendirian. Bida harus bisa bekerja berjejaring dengan ahli lain di bidangnya seperti denganu psikolog, ahli-ahli sosial lainnya seperti dengan organisasi, masyarakat, atau komunitas, kemudian juga tokohmasyarakat hingga pemerintah daerah yang berkaitan.
Bincang-bincang dalam podcast ini diharapkan dapat memberikan pandangan baru terkait HKSR dan dapat menjadi ruang Analisa terkait pemenuhan hak kesejahteraan tenaga kesehatan khususnya bidan. Simak bincang lengkapnya di kanal youtube YKP.