I. Latar Belakang
Di Indonesia terdapat 84,4 juta anak yang wajib untuk dilindungi, seperti yang sudah diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak dan tertera dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam undang-undang tersebut Negara wajib memenuhi hak-hak dasar anak agar dapat tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan, disploitasi dan diskriminasi.
Menurut data BPS, pada tahun 2018 angka nasional perkawinan anak adalah sebesar 11,21% dan turun menjadi 10,82% di tahun 2019, namun data di tahun 2019, di 22 provinsi di Indonesia menunjukkan angka perkawinan anak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka rata-rata nasional. Meskipun kebijakan terkait angka minimun perkawinan sudah direvisi melalui UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 dari usia 16 tahun menjadi 19 tahun, tidak menjadikan angka perkawinan anak turun di Indonesia. Di tengah pandemi Covid-19 ini, pengajuan dispensasi kawin (Diska) di pengadilan justru semakin meningkat berkali-kali lipat.
Salah satu faktor terjadinya perkawinan anak adalah kurangnya informasi pendidikan HKSR. Pendidikan HKSR penting tidak hanya bagi anak remaja, melainkan semua aktor yang terlibat pada terjadinya perkawinan anak, khususnya orangtua, sebagai pihak pertama yang secara strategis dapat membantu remaja memahami persoalan HKSR secara benar dan baik di mana ada ruang pelibatan dan penghargaan terhadap diri anak sendiri, bahwa anak akan mampu membuat keputusan yang bertanggungjawab bagi dirinya tanpa perlu ditakut-takuti sehingga terhindar dari persoalan HKSR.
Pendidikan HKSR yang menyeluruh (komprehensif) adalah seperangkat pengetahuan yang di dalamnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, tetapi juga life skills (sikap asertif, sikap sosial dengan teman, keluarga dan lingkungan sekitar) dan pengetahuan mengenai gender yang bertujuan mempersiapkan remaja dan anak muda dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai untuk membuat keputusan terkait dengan kehidupan sosial dan seksualnya untuk mencegah perilaku berisiko.
Dalam pendidikan HKSR, identifikasi kekerasan seksual salah satunya perkawinan anak juga menjadi muatan penting yang terdapat pada pendidikan HKSR. Seperti yang dimandatkan dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bahwa pentingnya upaya pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi akses informasi dan edukasi terkait akses layanan dan pengetahuan yang menyeluruh mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Namun, hal ini belum diimplementasikan secara maksimal atau dengan kata lain belum masuk menjangkau ke dalam keluarga atau pengasuhan.
Yayasan Kesehatan Perempuan yang berdiri sejak tahun 2001 berkomitmen untuk terus memperjuangkan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan melalui kegiatan Thursdays Talk yang rutin dilakukan sebagai wadah diskusi dan infromasi bagi masyarakat selama pandemi ini, berencana mengadakan diskusi dengan tema Pendidikan
HKSR dalam Pola Pengasuhan Orangtua sebagai Upaya Pencegahan Perkawinan Anak sekaligus dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang akan jatuh pada tanggal 23 Juli 2021.
II. Tujuan
- Meningkatkan pengetahuan bagaimana berkomunikasi dengan anak remaja terkait
pendidikan HKSR - Meningkatkan pemahaman masyarakat bagaimana pendidikan HKSR yang bisa
diterapkan oleh orangtua kepada anak - Berdiskusi bersama terkait pola asuh yang baik terkait pendidikan HKSR di rumah
- Mengajak pelibatan orang tua/keluarga dan semua pihak akan pentingnya
Pendidikan HKSR yang benar dimulai dari rumah
Narasumber
- dr. Erna Mulati, M.Sc-CMFM – Direktur Kesehatan Keluarga Kementrian Kesehatan RI
- Tiara Erlita, M.Psi., Psik – Psikolog Klinis Anak & Remaja, Tim Kurikulum Keluarga Kita
- Rusmiati – Orangtua Kab. Bojonegoro
- Irnandhini Putri – Aktivis muda HKSR Kab. Blitar
- Moderator: Ibu Nong Choirunnisa – Bale Perempuan