Aborsi adalah proses terhentinya kehamilan dengan keluarnya/dikeluarkannya janin dari rahim sebelum janin sanggup hidup di luar rahim (berat <500 gram dan usia kehamilan < 20 minggu menurut WHO).
Tidak semua kehamilan akan berjalan lancar selama 9 bulan atau 40 minggu. Beberapa kehamilan dapat mengalami kegagalan. Pada sebagian kasus kegagalan kehamilan karena gagal dengan sendirinya yang biasa disebut keguguran atau aborsi spontan.
Tapi kegagalan kehamilan bisa juga karena diinginkan oleh Ibu. Ini merupakan tindakan penghentian kehamilan yang disengaja atau dalam bahasa medis disebut induced abortion.
Aborsi hanya berlangsung aman bila dilakukan:
- sebelum kandungan mencapai usia 12 minggu
- dilakukan oleh dokter terlatih
- dilakukan di fasilitas kesehatan yang terjamin kebersihannya dan peralatan tindakan yang berstandar
- dilakukan konseling sebelum dan sesudah mendapatkan layanan aborsi aman
Konseling berfungsi untuk memberikan informasi lengkap sebelum seorang perempuan menentukan sendiri apakah dia ingin menghentikan atau melanjutkan kehamilannya. Konseling juga berguna untuk menghindari terjadinya aborsi berulang. Tindakan aborsi yang aman resikonya dibawah 1%, sehingga jauh lebih aman daripada persalinan.
Penghentian kehamilan pada usia dimana janin sudah mampu hidup mandiri di luar rahim ibu (lebih dari 21 minggu usia kehamilan), bukan lagi disebut tindakan aborsi tetapi pembunuhan janin atau INFANTISIDA.
Aborsi TIDAK AMAN(definisi WHO)
Suatu proses penghentian kehamilan sebelum waktunya, yang dilakukan oleh orang (baik tenaga kesehatan maupun bukan, atau diri sendiri) yang tidak memiliki ketrampilan.
ATAU
Dilakukan dalam lingkungan/situasi yang tidak memenuhi standar medis minimal (metode tidak sesuai dengan standar WHO dan/prosedur yang tidak tepat).
ATAU
Kombinasi kedua hal diatas.
Aborsi yang tidak aman membawa dampak secara medis dan psikologis. Secara medis bisa berupa infeksi, pendarahan hebat bahkan kematian. Sedangkan dampak psikologis muncul dalam bentuk rasa bersalah, penyesalan. Di negara- negara yang tidak memberikan perhatian terhadap Kespro karena masyarakatnya kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang kesehatan reproduksi( termasuk pengetahuan tentang organ reproduksi, fungsi, dan proses reproduksi seperti kehamilan) justru memiliki angka aborsi yang tinggi. Minimnya pendidikan Kespro dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tak diinginkan sering berakhir dengan aborsi tidak aman.
Hambatan untuk mengakses aborsi aman termasuk:
- Hukum dan kebijakan yang restriktif
- Terbatasnya layanan yang tersedia
- Biaya tinggi
- Stigma
- ‘conscientious objection’ atau penolakan berdasarkan keyakinan pribadi petugas kesehatan
- Persyaratan, misal ijin pasangan/orang tua.
Berdasarkan UU No 36 tahun 2009 dinaytakan bahwa aborsi dilarang namun ada perkecualian bagi beberapa kasus di mana kemudian aborsi diperbolehkan, seperti:
- indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Perempuan masih berada di posisi yang terpojokkan, tidak diberi pilihan dan kesempatan untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri dan kesehatannya. Semua yang berkaitan dengan organ reproduksinya; rahim, indung telur, saluran telur, tidak diakui sebagai miliknya. Suami, pacar, lingkungan, perempuan lain pemuka agama, pembuat kebijakan (Depkes, DPR) akan mengatur fungsi dan proses reproduksinya.
Situasi di atas, menyebabkan perempuan berbagai usia, tidak hanya yang remaja, namun juga mereka yang berusia dewasa, telah menikah, dan telah menjadi ibu, dihadapkan pada kemungkinan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan/tidak direncanakan.