Pemerintah RI pada tahun 1984 sudah merativikasi Konvensi Perempuan yang dikenal dengan nama CEDAW (Convention for the Elimination of Discrimination Against Women) yakni konvensi anti-diskriminasi terhadap perempuan. Dengan adanya CEDAW, menjadi bukti bahwa sejak 1979 PBB telah mengakui hak asasi perempuan. Bahkan secara tegas tanggal 20 Desember 1993, PBB telah mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut, maka kekerasan terhadap perempuan yang semula dianggap privat atau hanya sebatas persoalan rumah tangga, diangkat ke tingkat publik bahkan internasional.
Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias gender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan kekerasan seksual oleh aparat selama proses penertiban.
Upaya menghapuskan ketertindasan perempuan yang berakar pada diskriminasi dan cara pandang terhadap perempuan telah diupayakan melalui UU nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, Inpres nomo 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dan UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ternyata sederet peraturan ini dalam implementasinya mengalami berbagai kendala. Dan kendala terberat adalah merubah kultur atau budaya patriarkhi itu sendiri.
Bagaimana mungkin sebuah peraturan akan sukses dijalankan jika cara pandang para aparat dan penegak hukum masih belum sepenuhnya menempatkan perempuan sebagai korban. Bahkan cenderung menganggap bahwa perempuan adalah penyebabnya. Kondisi ini tentu menjadi sangat relevan untuk dikaji, karena permasalahan yang di hadapi Kartini lebih dari seratus tahun yang lalu masih berlangsung hingga saat ini. Jika dalam kehidupan ini ada laki-laki dan perempuan, dan perempuan berposisi sebagai korban dari budaya yang dibentuk antara laki-laki dan perempuan, maka tentu budaya inilah yang idealnya harus segera digantikan dengan budaya yang lebih egaliter, yang menempatkan perempuan setara dengan kaum lainnya, yaitu laki-laki. Bukan budaya yang saling menindas satu dengan yang lain.
Sebab senyatanya negara bukanlah institusi politik yang netral. Negara sesungguhnya adalah representasi kekuasaan patriaki yang mendapat topangan budaya, ideologi, norma sosial dan bahkan agama. Menjadi tidak aneh jika kemudian tindakan-tindakan negara terhadap warga negaranya, langsung atau tidak, menghasilkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Alhasil, negara tempat dimana kaum perempuan tumbuh dan hidup tetap menjadi wilayah yang tidak ramah kepada perempuan. Kaum perempuan tetap menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap berbagai tindak kekerasan berbasis gender.
Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kehadiran peraturan hukum semacam UU No 7/1987 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti-Penyiksaan atau UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) membentur tembok tebal dalam tahapan implementasinya.
Peraturan-peraturan hukum tersebut, diakui atau tidak, baru mampu menyentuh permukaan institusi-institusi negara dan masyarakat tanpa berhasil merasuk ke dalam struktur dasarnya. Dalam lain perkataan, peraturan-peraturan hukum yang telah dihasilkan belum mampu menjadi palu godam untuk membongkar batas-batas kognitif masyarakat, tak terkecuali kaum perempuan sendiri. Hal ini terefleksi dari pengakuan atas HAP yang baru sebatas bahan retorika pejabat-pejabat negara, pusat dan daerah. Atau bahan pelengkap dalam dokumen kerja departemen-departemen.
Dengan demikian, dalam kondisi di mana negara adalah representasi patriaki, perjuangan pengakuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan (HAP) tidak memberikan jaminan terhapuskannya ketidaksetaraan hubungan antara laki-aki dan perempuan, apalagi ketimpangan sosial-ekonomi di dalam masyarakat yang lebih luas.
Setiap upaya yang dianggap membahayakan harmoni sosial yang telah dibangun kekuasaan patriaki, justru dan pasti memunculkan resistensi baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan sendiri.
Ini pula sebabnya perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh ruang publik yang lebih luas, tidak selalu direspon secara signifikan oleh massa perempuan secara umum. Karena ketiadaan dukungan ini, pada akhirnya persoalan fundamental menyangkut hubungan patriakal antara laki-laki dan perempuan tidak tersentuh secara tuntas.
Memang kondisi tersebut bukan salah kaum perempuan sendiri. Betapan pun juga bukan sesuatu yang mudah membongkar hegemoni patriakal yang telah tertanam di benak kesadaran kaum perempuan dari satu generasi ke generasi selnjutnya. Meskipun demikian, persoalan mendasar yang bersumber dari hubungan patriakal antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah menyurutkan semangat komunitas pergerakan perempuan di tanah air menuntut pengakuan sebagai warga negara dengan segala hak-haknya.
Selama negara dan masyarakat tidak memberikan ruang bagi pengembangan atau realisasi potensi eksistensial perempuan, selama itu pula komunitas pergerakan perempuan di tanah air akan terus melakukan tekanan-tekanan kepada institusi-institusi negara.
Sebab hanya dengan pengakuan negara dan masyarakat atas HAP, domain sosial memiliki harapan untuk dibersihkan dari anasir-anasir yang potensial mereduksi kemanusiaan perempuan. Dalam perspektif semacam itulah peringatan Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan tahun ini memiliki relevansi dan pesan yang teramat jelas. Yaitu kekerasan negara (dan masyarakat) terhadap perempuan adalah nyata.(11)
Selama ini pendekatan pembangunan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil terhadap perempuan dan laki-laki, sehingga hal tersebut turut memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dikenal dengan kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender (gender issues).
Melihat kondisi ini, rakyat tentang perlunya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu dikembangkan kebijakan nasional yang responsif gender (Propenas, 2000). Salah satu strategi untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui strategi pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dalam pembangunan. Hal ini dipertegas dengan diterbitkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga pemerintah non-departemen di pemerintah nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan.
Salah satu penopang utama penyelenggaraan pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah perlunya pergeseran paradigma pembiayaan pembangunan yang lebih berwawasan gender. Hal ini penting, dikarenakan persoalan wanita yang disertai dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat diantisipasi dan ditanggulangi jika pembiayan pembangunan lebih sensitif terhadap gender.