Kespro Remaja

Perkawinan Usia Anak

Perkawinan usia anak adalah kebiasaan dimana anak-anak di bawah umur, sering sebelum masa pubertas, dinikahkan atau dikawinkan dengan orang lain yang lebih tua atau dengan sesama anak di bawah umur lainnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan. Anak-anak secara otomatis tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan sehingga pernikahan anak dianggap menyalahi turan pernikahan yang mengharuskan persetujuan secara sadar dari kedua belah pihak.

Wilayah dengan prevalensi pernikahan usia anak tertinggi adalah Afrika Barat dan Afrika Sub-Sahara, sementara jumlah kasus pernikahan anak terbesar ada di Asia Selatan.

Satu dari sembilan perempuan menikah di Indonesia dinikahkan di usia anak. Perkawinan usia anak merampas masa kecil anak perempuan dan mengancam kehidupan serta kesehatan mereka, karena pengantin anak lebih mungkin untuk hamil pada usia yang lebih muda dan berisiko. Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun juga lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kecil kemungkinannya untuk tetap bersekolah.

Mengapa perkawinan anak terjadi:

  • Budaya, dibeberapa wilayah di Indonesia masih ditemui keyakinan bahwa seorang anak perempuan lebih terhormat apabila menjadi janda daripada menjadi perawan tua.
  • Kemiskinan, dibeberapa daerah miskin terdapat budaya eksploitatif terhadap anak. Anak perempuan di desa-desa tertentu dianggap sebagai komoditas, agar orang tua mendapatkan manfaat ekonomis dari anak perempuan tersebut, mereka dinikahkan pada usia dini. Pada situasi ini, biasanya sang anak perempuan tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini.
  • Kurangnya pengetahuan tentang Kespro, sehingga seringkali remaja terperangkap pada kehamilan yang tidak diinginkan dan terpaksa diakhiri dengan pernikahan
  • Penafsiran Agama yang Tidak Kontekstual. Penafsiran agama yang tidak kontektual menyebabkan perkawinan yang harmonis tidak akan tercapai.
  • Pengalihan Tanggung Jawab. Menikahkan anak melepaskan tanggung jawab orang tua untuk menjaga anak perempuannya dari dampak negatif pergaulan.
  • Pelanggaran oleh Aparat yang Berwenang. Banyaknya manipulasi usia yang dilakukan oleh aparat akibat tidak adanya pengawasan oleh lembaga perkawinan yang sah

Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direvisi oleh DPR melalui rapat paripurna pada 16 September 2019. Pada peraturan sebelum revisi, perempuan boleh menikah setelah berusia 16 tahun, sedangkan laki-laki setelah 19 tahun. Kini, baik perempuan maupun laki-laki, baru bisa menikah setelah menginjak 19 tahun.

Revisi dilakukan setelah sekelompok warga memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu. MK menilai batas usia perkawinan sebelumnya diskriminatif dan karenanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Logikanya, peningkatan batas usia ini membuat praktik perkawinan anak—mereka yang berusia 18 tahun atau kurang—hilang, setidaknya pernikahan yang dicatat Kantor Urusan Agama (KUA). Tapi faktanya tidak demikian. Sayangnya, aturan di Indonesia ini masih memungkinkan pengadilan mengeluarkan dispensasi kawin bagi anak. Ini bisa memukul mundur perjuangan melindungi anak dari pernikahan dini.

Untuk mencegah hal ini, penting bagi hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan dispensasi kawin untuk mengikuti pedoman dalam mengadili permohonan dispensasi nikah (Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 tahun 2019) yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung pada November 2019. Dengan adanya Perma No. 5 ini, hakim harus memastikan keterangan anak didengar dalam pengadilan sebagai upaya mencegah pelanggaran hak anak dalam penetapan dispensasi kawin.


Pin It on Pinterest