Kendati batas usia kawin bagi perempuan telah dinaikkan, praktik perkawinan anak masih marak akibat longgarnya pemberian dispensasi kawin.
Dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), disebutkan bahwa rata-rata nasional persentase perkawinan usia 15-19 tahun sebesar 2,88 persen. Angka tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat (6,46 persen), diikuti oleh Kalimantan Tengah (5,91 persen), Sulawesi Utara (4,76 persen), Kepulauan Bangka Belitung (4,40 persen), dan Kalimantan Utara (5,61 persen).
Persentase terbesar dialami oleh anak perempuan di pedesaan (13,58 persen) dibandingkan anak perempuan di perkotaan (8,89 persen), anak laki-laki di pedesaan (1,54 persen), dan anak laki-laki di perkotaan (1,08 persen). Data ini menggambarkan anak perempuan di pedesaan lebih rentan untuk dikawinkan.
Rendahnya pendidikan dan kemiskinan menjadi musabab. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan bahwa median umur kawin pertama akan meningkat seiring tingkat pendidikan dan kekayaan anak perempuan.
Perkawinan anak dianggap sebagai jalan pintas mengurangi risiko kemiskinan rumah tangga. Namun, studi dari Kajian Gender Universitas Indonesia tahun 2016 menunjukkan, perkawinan anak justru menambah beban tanggungan bagi orang tua karena ketidaksiapan anak membina rumah tangga atau menjadi orang tua.
Isu ini adalah kendala serius yang turut berkontribusi pada lingkaran setan kemiskinan. Oleh karena itu, setelah adanya dukungan masyarakat sipil dalam mengadvokasi perubahan batas usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, dan amanat Mahkamah Konstitusi, pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Undang-undang (UU) No. 16 tahun 2019 sebagai revisi atas UU Perkawinan tahun 1974. UU yang telah berusia 45 tahun tersebut mengatur bahwa usia minimal bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Namun, dispensasi perkawinan yang diatur di pasal 7 ayat 3 tetap menjadi celah hukum atas pelaksanaan UU ini.
Dispensasi melonjak pascarevisi UU
Menyikapi hal tersebut, selain melahirkan UU baru atas aturan usia minimal untuk kawin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019 mengenai dispensasi perkawinan yang diatur secara ketat. Dalam hal ini, mendengar opini anak, memastikan bahwa kondisi psikis anak tidak dalam paksaan, dan mempertimbangkan institusi lain seperti Psikolog/Dokter/Bidan, Pekerja Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD), seperti dicatat di pasal 15, diatur sebagai rambu dispensasi.
Hanya saja, implementasi kedua kebijakan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan yang dihadapi di lapangan, terutama di desa, adalah sosialisasi kebijakan yang belum diselenggarakan maksimal ke institusi hukum di tingkat lokal hingga komunitas.
Praktik yang lumrah terjadi yakni masing-masing keluarga calon pasangan baru mengetahui jika batas usia kawin bagi perempuan adalah 19 tahun di Kantor Urusan Agama (KUA). Karena calon pengantin perempuan masih di bawah umur, mereka mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama.
Tren kenaikan dispensasi perkawinan terjadi di banyak daerah. Di Blitar misalnya, Detik.com melaporkan, setelah revisi UU Perkawinan disahkan pada 2019, permohonan dispensasi meningkat dari 89 permohonan hingga 245 permohonan. Di Jawa Tengah, penerimaan perkara meningkat fantastis sebesar 282,2 persen, dari 355 perkara menjadi 1371 perkara, per November 2019.
Kesukaran lain adalah kemudahan untuk dispensasi perkawinan untuk dikabulkan. BPS dan UNICEF (2016) melaporkan, lebih dari 90 persen pengajuan dispensasi disetujui.
Beberapa studi menunjukkan bahwa besarnya toleransi bagi hakim untuk menyetujui pengajuan dispensasi yang terjadi sebelumnya diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, perkawinan dianggap cara untuk memperbaiki stigma sosial bagi keluarga perempuan akibat kehamilan di luar nikah atau dianggap terlibat dalam “pergaulan bebas”. Kedua, alasan pemberian perlindungan hukum bagi anak dengan memiliki hubungan hukum kepada status perkawinan orang tua yang jelas.
Dengan adanya dua faktor ini, majelis hakim menggunakan inisiatif politik hukumnya yang bersumber pada teks-teks keagamaan. Kedua faktor ini biasanya disebut sebagai “situasi mendesak”. Situasi mendesak tersebut menjadi landasan sosiologis bagi hakim untuk tetap mengabulkan permohonan dispensasi. Misalnya, permintaan dispensasi terhadap pengadilan agama di Kudus umumnya diakibatkan oleh situasi anak perempuan yang telah hamil di luar nikah.
Meskipun dispensasi perkawinan berpengaruh besar, tingginya dispensasi perkawinan bukan satu-satunya tolok ukur peningkatan angka perkawinan anak. Dalam laporan Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan 2 (AIPJ2) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada 2018 yang berjudul Analisis Putusan Dispensasi Kawin di Indonesia, ditemukan perkawinan anak tanpa adanya pengajuan permohonan dispensasi perkawinan yang peresentasenya mencapai 95 persen.
Menurut sebuah penelitian, praktik tersebut terjadi di Makassar dan di Jawa Barat karena adanya manipulasi umur serta kelonggaran KUA dalam meloloskan berkas permohonan kawin bagi pasangan yang di bawah 19 tahun. Hal ini menjadi solusi lokal karena pengadilan dianggap sebagai cara penyelesaian yang mahal.
Melihat situasi tersebut, salah satu cara memperketat permohonan dispensasi perkawinan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar adalah dengan mewajibkan adanya surat rekomendasi oleh petugas kesehatan/bidan dan P2TP2A. Hal ini mengingat pertimbangan dari institusi lain sifatnya hanya anjuran.
Selain itu, LBH APIK Makassar bekerja sama dengan Oxfam—lembaga nonprofit yang berfokus pada isu kemiskinan—dan sejumlah mitranya seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), dan Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) untuk mengentaskan permasalahan perkawinan anak lewat proyek Creating Space. Dalam proyek ini, lembaga-lembaga tersebut gencar melakukan sosialisasi batas usia minimal perkawinan yang baru setelah UU No. 16 tahun 2019 diterbitkan.
Dalam melakukan advokasi regulasi hingga kampanye publik, keempat lembaga ini menggunakan pendekatan memanfaatkan suara anak-anak muda untuk menyosialisasikan isu. Anak-anak muda dipercaya berperan penting sebagai agen penentu dan peer advocateur bagi sesamanya. Berdasarkan riset Oxfam dan para mitranya, anak-anak muda memiliki keinginan besar untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki masa depan dengan pilihannya sendiri. Cita-cita ini seharusnya didukung penuh oleh orang tua dan juga negara.
Oleh: Dini Anitasari (penggiat isu perkawinan anak, Creating Space-Oxfam di Indonesia.)
sumber: magdalene.co