Pernyataan Sikap

PMK No. 2/2025: Aksesibilitas Layanan Aborsi Aman Masih Jauh dari Penghormatan Otonomi Tubuh Perempuan yang Berkeadilan

Pada 20 Februari 2025 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 2 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi. Regulasi ini merupakan kebijakan turunan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Reproduksi, yang bertujuan untuk mempercepat implementasi hak-hak kesehatan reproduksi di Indonesia.

PMK No. 2/2025 seharusnya menjadi landasan bagi pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan, terutama dalam memberikan akses yang adil dan aman terhadap layanan aborsi. Namun, regulasi ini justru mencerminkan banyak hambatan struktural dan administratif yang semakin menyulitkan perempuan—terutama korban kekerasan seksual, perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan/diinginkan, dan yang menghadapi kondisi medis darurat—dalam mengakses layanan ini.

Sejalan dengan pernyataan sikap dari berbagai organisasi masyarakat sipil, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menilai bahwa PMK No. 2/2025 bersifat diskriminatif dan berpotensi memperkuat stigma, praktik ketidakadilan, dan kekerasan berlapis terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Regulasi ini mengabaikan hak otonomi atas tubuh perempuan, karena keputusan akan tubuhnya dikontrol oleh banyak pihak. Alih-alih memastikan layanan kesehatan reproduksi yang inklusif, regulasi ini justru mempersempit akses layanan, memperberat prosedur administratif, serta membatasi ketersediaan fasilitas kesehatan yang mampu memberikan layanan aborsi aman—terutama di daerah dengan keterbatasan infrastruktur. 

YKP menyoroti bahwa regulasi ini masih jauh dari standar pelayanan kesehatan reproduksi yang berkeadilan. Pada pernyataan sikap ini YKP akan fokus pada Bab VI mengenai Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis atau terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan atau Kekerasan Seksual Lain yang Menyebabkan Kehamilan, karena pengaturan dalam bab ini masih belum mencerminkan prinsip akses yang adil dan berbasis hak.

Pengaturan aborsi aman pertama kali ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang kemudian diubah menjadi UU no 17 tahun 2023, regulasi-regulasi ini diharapkan terus berkembang untuk memperkuat akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang setara, inklusif, serta berbasis bukti dan hak asasi manusia. Sayangnya, PMK No. 2/2025 justru memperkuat berbagai pembatasan yang tidak sesuai dengan standar global dan praktik kesehatan berbasis bukti. Seharusnya, peraturan menteri kesehatan mampu mengakomodasi berbagai terobosan dalam bidang kesehatan dan teknologi medis, bukan malah memperburuk hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkeadilan.

Permasalahan Utama dalam PMK No. 2/2025:

  1. Rumitnya Persyaratan Layanan Aborsi Aman Mengancam Hak Kesehatan Reproduksi yang Komprehensif dan Inklusif

PMK No. 2/2025 masih melihat aborsi aman sebagai sebuah upaya hukum, bukan layanan medis yang melindungi dan memenuhi hak kesehatan reproduksi perempuan. Regulasi ini justru memperberat akses perempuan untuk layanan kesehatan dengan banyaknya syarat dan prosedur yang membatasi akses ke layanan.

Dalam regulasi ini, perempuan yang ingin mengakses layanan aborsi harus memenuhi persyaratan administratif yang panjang. Pada Pasal 67 disimpulkan bahwa tindakan aborsi hanya akan dilakukan setelah melengkapi surat persetujuan dokter, surat keterangan penyidik, persetujuan tim pertimbangan, dan hasil konseling. Prosedur ini berpotensi memperlambat tindakan medis yang seharusnya segera diberikan, terutama bagi korban kekerasan seksual dan perempuan dalam kondisi kedaruratan medis.

Dalam tata laksana aborsi, pengambilan keputusan seharusnya diberikan pada perempuan, korban dan individu yang membutuhkan layanan. Namun pada Pasal 62 ayat 1 dijelaskan bahwa keputusan terkait tindakan aborsi untuk kedaruratan medis tidak hanya berdasarkan keputusan perempuan saja namun juga harus atas persetujuan atau izin pasangan/suami, hal ini mencerminkan bagaimana regulasi ini tidak berpihak pada perempuan sebagai individu yang berhak menentukan keputusan atas tubuhnya sendiri. Padahal, layanan aborsi aman seharusnya menjadi bagian dari pemenuhan hak kesehatan reproduksi yang komprehensif, setara, inklusif, dan bebas dari stigma serta diskriminasi.

  1. Pembatasan Fasilitas Pemberi Layanan Aborsi yang Hanya dapat Dilakukan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) 

PMK No. 2/2025 membatasi layanan aborsi hanya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) dan fasilitas tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. Bila merujuk pada pengertian FKTL di PMK No. 3/2023, FKTL adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus. Pengertian ini menunjukkan bahwa layanan aborsi hanya bisa dilakukan di rumah sakit umum (RSU) atau rumah sakit khusus (RSK) dan fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri. Sementara itu, sebagian besar perempuan terutama di daerah terpencil tidak memiliki akses yang mudah ke fasilitas ini. 

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2023, jumlah FKTL di Indonesia adalah sebanyak 4.862 layanan yang terdiri dari RSU/RSK dan Klinik Utama,  sedangkan jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) adalah sebanyak 37.155 layanan yang terdiri dari Klinik Pratama, Puskesmas dan Tempat Praktik Mandiri Tenaga Medis. Angka ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan yang banyak tersebar dan lebih dekat dengan masyarakat adalah FKTP. Jika regulasi ini terus dijalankan, maka akan mengakibatkan perempuan di wilayah dengan keterbatasan infrastruktur akan semakin sulit mendapatkan layanan aborsi aman, berisiko mencari praktik tidak aman, atau bahkan terpaksa melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan.

  1. Metode Aborsi yang Terbatas

Pada Pasal 63 ayat 2 disebutkan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Hal ini mengasumsikan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan dengan metode yang membutuhkan penanganan khusus dari tenaga kesehatan tertentu saja.

Berdasarkan panduan milik WHO, terdapat 2 metode aborsi yang direkomendasikan, yaitu metode medis (menggunakan obat-obatan) dan metode bedah. Metode yang menggunakan obat-obatan ini mudah diakses dan dapat dilakukan secara mandiri dengan pendampingan tanpa harus adanya tindakan bedah. Ini merupakan salah satu solusi metode yang dapat dilakukan untuk kondisi darurat terutama untuk kelompok perempuan yang berada di wilayah yang tidak memiliki FKTL. Sehingga, jika pembatasan metode aborsi aman yang disebutkan pada PMK ini tetap dilakukan, maka akan semakin mempersempit peluang perempuan untuk mendapatkan layanan yang cepat, aman, dan terjangkau.

Berdasarkan beberapa poin diatas, kami menuntut Pemerintah untuk:

  1. Memastikan Hak Kesehatan Reproduksi terpenuhi secara komprehensif dan inklusif dengan menjamin ketersediaan layanan aborsi aman di seluruh wilayah tanpa diskriminasi berdasarkan lokasi atau status sosial-ekonomi.
  2. Menjamin ketersediaan dan pemberian informasi dan pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang komprehensif, termasuk kepada remaja. Pendidikan HKSR Komprehensif yang dimaksud termasuk (dan tidak terbatas) informasi mengenai gender, aspek-aspek kesehatan reproduksi serta informasi dan layanan kontrasepsi. Informasi HKSR yang diberikan secara lengkap dan benar mampu membantu perempuan untuk mengenal tubuhnya dan mengambil keputusan terbaik untuk dirinya sehingga terhindar dari permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi termasuk kehamilan yang tidak diinginkan.
  3. Memperluas cakupan fasilitas kesehatan yang dapat memberikan layanan aborsi aman, termasuk fasilitas kesehatan primer dan klinik swasta.
  4. Menghapus syarat penyediaan layanan aborsi yang berbelit dan berpotensi mengancam kesehatan korban kekerasan dan perempuan, sehingga tidak menambah stigma atau diskriminasi.
  5. Menghapuskan syarat pemberian izin suami untuk tindakan aborsi atas kedaruratan medis dan memprioritaskan keputusan perempuan atas tubuhnya.
  6. Mengakomodasi metode aborsi berbasis obat-obatan sebagai pilihan untuk memperluas akses, terutama bagi perempuan di wilayah yang sulit dijangkau (3T)
  7. Menerapkan kebijakan “task shifting” yang memungkinkan tenaga kesehatan non-dokter terlatih untuk menangani aborsi aman sesuai standar WHO
  8. Mendesak pemerintah merevisi PMK No 2/2025 dan/atau juga memastikan jalan keluar atas persoalan atau hambatan dari regulasi tersebut  dapat diatasi melalui panduan yang akan disusun, untuk lebih menghormati hak-hak individu dan menjamin akses layanan kesehatan yang adil bagi semua kelompok masyarakat.

Hormat kami,

Yayasan Kesehatan Perempuan

Narahubung:
Frenia Nababan – 0815-8320-406
Nanda Dwinta – 0815-8660-2575

Download surat pernyataan sikap: