World Contraception Day (WCD) atau Hari Kontrasepsi Sedunia jatuh pada tanggal 26 September tiap tahunnya. Tujuan peringatan Hari Kontrasepsi Internasional ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan penggunaan kontrasepsi dan memberikan pilihan untuk pasangan muda terkait kesehatan seksual dan reproduksi mereka.
Kampanye WCD ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang metode pengendalian kelahiran (birth control) yang tersedia bagi perempuan dan pasangannya, yang memungkinkan mereka membuat keputusan yang tepat terkait kesehatan reproduksi mereka. Kampanye global ini juga mendorong pendidikan yang lebih baik terkait seks yang aman dan terlindungi sehingga tidak ada kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan.
Sejarah Hari Kontrasepsi Sedunia Hari Kontrasepsi Sedunia pertama kali diperingati pada tanggal 26 September 2007 oleh sepuluh organisasi keluarga berencana internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang kontrasepsi dan untuk memungkinkan pasangan membuat keputusan yang tepat tentang memulai sebuah keluarga, sehingga setiap kehamilan diinginkan. Hari Kontrasepsi Sedunia mempromosikan keluarga berencana dan metode kontrasepsi yang aman dan disukai. Hari Kontrasepsi Sedunia didukung oleh koalisi 15 LSM internasional, organisasi pemerintah, dan masyarakat ilmiah dan medis yang berkepentingan untuk menyebarkan pengetahuan yang benar tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
Kontrasepsi dan Remaja
Kontrasepsi adalah pengaturan fertilitas yang digunakan untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual. Wajarnya, kontrasepsi digunakan untuk pasangan yang sudah menikah yang ingin memberikan jarak kehamilan atau menunda kehamilan. Namun, tak bisa dimungkiri, banyak pasangan belum menikah namun sudah aktif secara seksual juga perlu menggunakan kontrasepsi untuk mencegah penularan infeksi menular seksual atau kehamilan yang tidak diinginkan.
Ada beberapa metode kontrasepsi, di antaranya adalah metode barier, hormonal, dan non-hormonal. Metode tersebut digunakan sebelum atau selama berhubungan. Selain itu, penggunaan kondom adalah satu-satunya pilihan untuk mencegah kehamilan sekaligus infeksi menular seksual.
Usia remaja termasuk rentang usia ketika organ reproduksi sudah aktif. Oleh karena itu, informasi mengenai kesehatan seksual, termasuk penggunaan kontrasepsi, menjadi sangat penting. Seperti penelitian yang diungkapkan oleh Journal of Sociological Research, kehamilan dan infeksi penyakit menular seksual sangat rentan dialami oleh remaja.
Penyakit seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan bisa memicu masalah kesehatan fisik maupun psikis. Pembicaraan tentang seks dan kontrasepsi sebaiknya tidak menjadi tabu, untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan. Pengetahuan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi termasuk kontrasepsi adalah satu hal yang perlu menjadi bagian penting bagi remaja.
Walau begitu, apapun pilihan kontrasepsinya tidak bisa menjamin 100 persen akurat. Remaja perlu mengetahui kontrasepsi bukan jaminan, melainkan hanyalah sebagai proteksi. Selalu ada konsekuensi dan risiko yang mungkin terjadi saat melakukan hubungan seksual, baik menggunakan atau tidak menggunakan kontrasepsi.
Berbicara soal seks, terutama kepada remaja, terkadang menjadi hal yang menakutkan. Pasalnya, hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek, mulai dari norma, agama, hingga kesehatan. Apalagi pembicaraan di ruang keluarga, orangtua kerap menghindari obrolan mengenai seks dengan anak.
Seharusnya, sumber terbaik bagi anak remaja untuk mendapatkan informasi mengenai seks adalah keluarga. Ketika ada keterbukaan, maka anak remaja tidak perlu malu ataupun ragu menanyakan perihal perubahan fisik dan pengetahuan seksual kepada orang tua.
Pentingnya peranan orangtua, maupun lembaga, serta komunitas edukatif untuk memberikan informasi mengenai seks kepada anak remaja. Tanamkan pada remaja untuk berpikir panjang sebelum berani melakukan hubungan seks. Ada begitu banyak risiko di balik perbuatan tersebut
Risiko Melakukan Hubungan Seks di Usia Remaja
Organ reproduksi yang berkembang dan mengalami perubahan, tentunya mengundang rasa penasaran bagi remaja. Ini adalah hal yang normal. Namun, sebelum bergerak di luar batas, ada baiknya remaja mengetahui risiko di balik melakukan hubungan seks di usia yang masih dini. Banyak anak muda terlibat dalam perilaku dan pengalaman risiko seksual yang dapat menyebabkan dampak kesehatan yang tidak diinginkan.
Menilik dari sudut pandang medis, memulai aktivitas seksual sejak usia dini, berisiko memberikan berbagai dampak merugikan bagi para remaja, terutama remaja perempuan. Berikut ini beberapa dampak merugikan yang bisa muncul pada remaja yang mencoba berhubungan seks di usia yang terlalu dini.
1. Lebih mungkin melakukan hubungan seks risiko tinggi
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa memulai hubungan seks di usia yang masih dini berhubungan erat dengan meningkatkan kemungkinan melakukan hubungan seks risiko tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, termasuk:
- Potensi memiliki beberapa pasangan seksual sebelum menginjak usia dewasa
- Pengetahuan yang belum baik membuat penggunaan kondom saat berhubungan seks masih kurang atau tidak konsisten.
Selain itu, para remaja cenderung belum bisa mengerti sepenuhnya konsep dari konsekuensi suatu perbuatan.
Sebab pada usia remaja, bagian korteks prefrontal di otak yang berperan dalam kemampuan penalaran, berpikir dan menimbang baik dan buruk dari suatu perbuatan, belum sepenuhnya terbentuk. Bagian otak ini bahkan belum akan terbentuk sempurna hingga seseorang memasuki usia pertengah usia 20-an. Akibatnya, remaja cenderung lebih nekat dan berani dibanding orang dewasa, termasuk dalam hal mengambil keputusan yang berhubungan dengan seksual.
2. Lebih berisiko mengalami penyakit menular seksual
Kemampuan membuat keputusan yang belum sepenuhnya matang juga membuat remaja berisiko lebih tinggi tertular penyakit menular seksual. Bahkan, orang berusia 15-24 tahun merupakan kelompok umur terbanyak pengidap infeksi menular seksual. Contoh dari penyakit menular seksual adalah chlamydia, herpes kelamin, sifilis alias raja singa, gonnorhea, hingga HIV.
3. Risiko kanker serviks atau kanker leher rahim jadi meningkat
Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan salah satu jenis kanker yang paling umum diderita oleh perempuan di Indonesia. Kanker ini bisa terjadi akibat infeksi human papiloma virus (HPV) yang dapat ditularkan melalui hubungan seks. Ada beberapa hal yang meningkatkan risiko seorang perempuan terkena penyakit ini. Salah satunya adalah melakukan hubungan seks di usia yang masih dini.
Perempuan yang melakukan hubungan intim pertama kali sebelum usia 16 tahun, akan mengalami kenaikan risiko terkena kanker serviks dengan rentang yang cukup signifikan yaitu 1,6 kali hingga 58 kali lebih berisiko. Semakin muda usia saat hubungan intim pertama kali dilakukan, maka semakin tinggi juga risiko seseorang terkana kanker serviks di kemudian hari.
4. Berisiko lebih tinggi kehamilan tidak diinginkan (KTD)
KTD bagi remaja-remaja usia sekolah tentu akan menghambat masa depannya. Namun, hal ini berisiko tinggi dialami oleh anak yang mulai melakukan hubungan seks sejak usia dini. Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), data tahun 2012 menunjukkan bahwa pengetahuan remaja di Indonesia mengenai kesehatan reproduksi belum memadai. Hanya 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki berusia 15-19 tahun yang mengetahui kalau perempuan bisa hamil meski hanya berhubungan seks satu kali. Hal ini membuat angka kehamilan pada remaja yang aktif secara seksual, masih tinggi.
5. Remaja yang hamil berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi akibat perkawinan anak.
Dampak negatif hubungan seks usia dini tidak berhenti ketika remaja yang hamil diluar nikah biasanya dipaksa kawin dengan pasangannya. KTD menjadi salah satu alasan meningkatnya angka dispensasi kawin, Dispensasi kawin artinya keringanan yang diberikan kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Data Badan Peradilan Agama mencatat 64,2 ribu dispensasi perkawinan anak pada 2020. Angka tersebut meningkat sekitar tiga kali lipat atau 177,7% dari 2019 yang sebanyak 23,1 ribu dispensasi kawin.
Padahal, kehamilan yang terjadi pada perempuan usia remaja berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi alias gangguan pada kesehatan ibu maupun bayi. Perempuan yang hamil saat usia remaja berisiko lebih tinggi melahirkan bayi secara prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang bisa mengakibatkan stunting. Selain itu, saat proses persalinan, remaja juga lebih berisiko mengalami perdarahan yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian ibu dan bayi. Risiko perdarahan parah bahkan kematian ibu juga muncul apabila janin yang ada di dalam kandungan berusaha digugurkan atau diaborsi dengan cara-cara ilegal yang tidak aman atau sesuai dengan ketentuan hukum maupun medis.
Untuk mencegah dampak di diatas, sudah saatnya kesehatan reproduksi dan seksual seharusnya sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, terutama jika tujuannya adalah memberikan pendidikan kepada para remaja. Dengan menanamkan pengetahuan mengenai kontrasepsi dan juga bahaya hubungan seks usia dini sekaligus perilaku seksual yang aman dan sehat, diharapkan para remaja tidak lagi menjalani perilaku yang merugikan bagi kesehatan sekaligus masa depannya.
dirangkum dari berbagai sumber