Pandemi corona tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia, tetapi juga turut memberi tekanan sosial dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) di berbagai belahan dunia memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah atau bahkan kehilangan pekerjaannya. Hal tersebut memungkinkan terjadi tindak kekerasan lantaran tekanan atas kebutuhan ekonomi disatukan dengan tingkat stres tinggi karena terjebak di rumah. Wanita dan anak perempuan pun menjadi kelompok yang paling terancam karena situasi ini.
Kasus KDRT meningkat di sejumlah negara
Dilansir dari VOA (5/4/2020) Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi akibat pandemi virus corona telah menyebabkan meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada wanita dan anak-anak perempuan. Dia mengatakan, bagi wanita dan anak perempuan, ancaman terbesar justru datang dari tempat di mana seharusnya mereka paling aman, yakni rumah. “Maka, hari ini saya membuat seruan baru untuk perdamaian di seluruh rumah di dunia,” kata Guterres. Banyak negara telah melaporkan peningkatan signifikan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak pandemi mulai menyebar secara global pada awal tahun ini.
Di Perancis, kasus KDRT meningkat hingga sepertiga dalam satu minggu. Sementara, Afrika Selatan melaporkan bahwa otoritas setempat menerima setidaknya 90.000 pengaduan KDRT terhadap wanita pada minggu pertama diberlakukannya pembatasan wilayah.
Pemerintah Australia turut melaporkan bahwa pencarian online terhadap layanan bantuan KDRT meningkat sebesar 75 persen. Di Turki, para aktivis menuntut perlindungan yang lebih baik setelah kasus pembunuhan terhadap wanita meningkat pesat selama periode pembatasan wilayah yang diberlakukan sejak 11 Maret 2020.
Dampak pembatasan wilayah dan tetap di rumah
Adanya kebijakan pembatasan wilayah juga berarti banyak wanita dan anak perempuan yang tinggal di rumah. Mereka terjebak bersama pria yang kehilangan pekerjaan atau sarana hiburan untuk melepas stres, seperti menonton siaran olahraga atau berkumpul bersama teman. Pria-pria ini kemudian melampiaskan rasa frustrasi mereka kepada wanita dan anak perempuan. Pada saat bersamaan, otoritas seperti polisi tengah disibukkan dengan penanganan virus corona dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga tengah berjuang untuk mempertahankan staf dan sumber daya yang dimiliki.
Di beberapa kota, tempat perlindungan untuk korban KDRT justru telah diubah menjadi pusat kesehatan darurat sebagai dampak dari meluasnya penyebaran virus corona. “Saya mendesak semua pemerintah untuk membuat pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian penting dari rencana nasional penanganan Covid-19,” kata Guterres. Dia menambahkan bahwa rencana itu termasuk menyediakan tempat penampungan bagi korban KDRT dan sarana pengaduan yang aman bagi wanita korban KDRT.
Bagaimana di Indonesia?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan, perempuan dan anak menjadi kelompok rentan kekerasan seiring dengan penerapan kebijakan beraktivitas di rumah selama pandemi Covid-19. Bintang menyebutkan hingga 23 April 2020, ada 205 kasus kekerasan yang dilaporkan oleh korban perempuan. “Data Simfoni PPPA sampai 23 april 2020, terdapat 205 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan oleh korban perempuan,” kata Bintang dalam diskusi online “Peran, Kesiapan, dan Ketahanan Perempuan dalam Perang Melawan Covid-19”, Kamis (23/4/2020).
Ia menjelaskan peningkatan risiko kekerasan, khususnya terhadap perempuan, meningkat karena beban ganda yang harus dijalankan perempuan ketika beraktivitas di rumah. Beban ganda terhadap perempuan itu tercipta akibat ketidaksetaraan gender di rumah. Bintang mengatakan temuan ini berdasarkan survei Kementerian PPPA terhadap 717 anak di 29 provinsi Indonesia. Hasilnya, sebanyak 91 persen anak mendapatkan pendampingan orangtua selama belajar dari rumah, tetapi hanya dibebankan kepada perempuan. “Berdasarkan hasil survei, sebanyak 91 persen anak dapat pendampingan dari orangtua selama belajar dari rumah, walau demikian ketidaksetaraan gender mencipatkan beban ganda terutama bagi perempuan yang bekerja,” jelas Bintang.
“Tingkat stres yang tinggi akibat kesulitan yang dialami akibat pandemi Covid-19 berpotensi menyebabkan kekerasan berbasis gender terhadap kelompok rentan, yaitu perempuan,” imbuhnya. Bintang mengatakan Kementerian PPA telah melakukan koordinasi hingga advokasi kepada kementerian/lembaga terkait, khususnya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, untuk menyelesaikan persoalan ini.
Ia menyatakan isu perempuan dan anak bersifat lintas sektor. “Isu anak dan perempuan sifatnya selalu lintas sektoral. Intervensi yang efektif hanya dapat dilakukan dengan kerja sama berbagai pihak, bukan hanya pemerintah tapi juga bersama-sama dunia usaha, LSM, media, dan masyarakat umum,” ucapnya.
Di saat bersamaan, salah satu wujud nyata Kementerian PPPA mengatasi peningkatan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak di masa pandemi Covid-19 yaitu menginisiasi “Gerakan Bersama Jaga Keluarga”.
Sumber: kompas.com