Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah resmi menarik 16 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 pada rapat kerja pada Kamis (2/7/2020) lalu. Salah satunya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Penarikan RUU PKS tersebut disebut diklaim Badan Legislasi (Baleg) karena adanya sejumlah pasal pemidanaan pada RUU PKS yang terkait dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Oleh karena itu, mereka harus mengesahkan RKUHP dahulu sebelum mengesahkan RUU PKS.
Sebelumnya, penarikan RUU tersebut diusulkan Komisi VIII. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan. “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” kata Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).
Ditariknya RUU PKS dari prolegnas tahun ini membuat banyak pihak meradang. Musababnya, RUU tersebut telah lama diperjuangkan dan didesak untuk diselesaikan. Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad, misalnya, menyesalkan alasan Komisi VIII yang mengusulkan pencabutan RUU PKS karena pembahasan yang sulit.
Ia menuding tak ada kemauan dari legislator untuk membahas RUU PKS. “Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberilan keadilan bagi korban,” kata Fuad lewat keterangan tertulisnya, Selasa (1/7/2020).
RUU PKS merupakan rancangan payung hukum untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual. RUU ini sudah masuk prolegnas prioritas sejak 2016. RUU tersebut mengatur sembilan tindak kekerasan seksual yang akan dipidana, yang sebagian tidak diatur dalam KUHP atau aturan lain.
Naik Tajam Penarikan RUU PKS ini, mirisnya, dilakukan di tengah tingginya kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat hampir 800 persen jika dibandingkan jumlah kasus pada 2008 dengan 54.425 kasus.
Dalam 12 tahun terakhir, angka kasus pada 2019 merupakan yang tertinggi. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya bergerak fluktuatif dengan kecenderungan meningkat.
Dalam “Catatan Akhir Tahun tentang Kekerasan Terhadap Perempuan” yang dirilis rutin oleh Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan terbagi ke dalam beberapa jenis dan bentuk, diantaranya kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, dan khusus.
Jika dikelompokan menurut ranah terjadinya kekerasan tersebut, terbagi ke dalam tiga kategori: kekerasan dalam rumah tangga dan ranah personal/privat (KDRT/RP), komunitas, dan negara.
Kekerasan seksual menjadi catatan penting. Dalam lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual merupakan yang terbanyak pada ranah komunitas dan termasuk yang tertinggi pada ranah KDRT/RP setelah kekerasan fisik.
Pada 2015, kekerasan seksual pada ranah personal sebanyak 3.325 kasus, sedangkan pada ranah komunitas sebanyak 3.174 kasus. Angka kasus pada ranah personal meningkat pada 2016 dengan 3.495 kasus, sedangkan pada ranah komunitas angkanya menurun.
Pada 2019, jumlah kasus kekerasan seksual pada ranah personal sebanyak 2.807 kasus, sedangkan pada ranah komunitas sebanyak 2.091 kasus.
Pada periode 2015-2019, jumlah kasus kekerasan seksual pada ranah personal berkisar pada 2.800 hingga 3.400 kasus setiap tahunnya. Pada ranah komunitas, kasusnya berkisar pada angka 2.000 kasus hingga 3.100 kasus.
2019: Kasus Inses Tertinggi
Diantara tiga ranah terjadinya kekerasan pada perempuan, dalam lima tahun terakhir ranah rumah tangga dan personal menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan pada perempuan. Pada 2019, misalnya, 75 persen kekerasan seksual terjadi di ranah keluarga dan personal.
Di ranah keluarga dan personal, kekerasan fisik dan seksual mendominasi. Pada 2019, sebanyak 43 persen kasus merupakan kekerasan fisik, dan 25 persen lainnya atau 2.807 kasus merupakan kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mencatat 10 kategori kasus kekerasan seksual terjadi pada 2019. Sebagai catatan, kategorisasi kekerasan seksual tersebut berdasarkan definisi KUHP (yang dilaporkan ke lembaga layanan terutama pemerintah seperti kepolisian), dan definisi terminologi yang digunakan oleh lembaga layanan non pemerintah serta Komnas Perempuan. Catatan singkat, spektrum pola kekerasan seksual dalam definisi terminologi lembaga layanan non pemerintah serta Komnas Perempuan ini meluas sampai ke ranah perkawinan dan cyber.
Kategori inses menjadi kekerasan seksual terbanyak pada 2019 dengan 822 kasus. Inses dapat diartikan sebagai kekerasan seksual di dalam rumah yaitu dengan pelaku yang memiliki hubungan darah, termasuk ayah kandung, ayah tiri, dan paman.
Perkosaan menjadi kasus terbanyak kedua dengan 792 kasus, dan disusul persetubuhan dengan 503 kasus. Beberapa kasus lainnya seperti marital rape (perkosaan dalam perkawinan) sebanyak 100 kasus, dan cyber crime 35 kasus.
Tingginya kasus inses tersebut merupakan catatan penting menurut Komnas Perempuan. Lembaga tersebut menilai jenis kekerasan ini sulit dilaporkan korban karena adanya relasi keluarga, dan jika korban adalah anak perempuan, sang ibu akan sulit menyoal pelaku yang notabene suaminya.
Tingginya kasus inses tersebut sejalan dengan kondisi pelaku kekerasan seksual pada ranah privat. Ayah kandung serta ayah tiri dan angkat termasuk pelaku dengan kasus terbanyak dengan masing-masing 618 dan 469 kasus.
Pelaku terbanyak kekerasan seksual pada ranah privat yaitu pacar dengan 1.320 kasus. Komnas Perempuan menilai perlu adanya pendidikan seksualitas untuk mengurangi angka kasus pada korban dan pelaku berusia muda.
Sumber: tirto.id
Penulis: Hanif Gusman