Artikel

Ruang Tersembunyi Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya

Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan di ruang daring, menjadi problem dan perlindungan dari aspek hak asasi manusia.

Hanya karena tidak terjadi secara fisik, kekerasan terhadap perempuan di dunia maya masih disepelekan. Padahal, dampaknya nyata dan jelas melanggar hak asasi manusia. Tidak adanya aturan yang jelas dan kurang berpihaknya media sosial serta aparat penegak hukum terhadap perspektif jender melemahkan penanganan atas tindakan tersebut.

Teknologi memang ibarat pisau bermata dua. Manfaat dari kecanggihannya juga diikuti dengan peluang munculnya tindak kejahatan baru dalam dunia maya.

Pergerakan perempuan pun turut merasakan dampak positif dari berkembangnya teknologi. Kampanye perlindungan perempuan dan kesetaraan jender semakin kuat di ranah digital. Perempuan dapat dengan mudah mengakses segala informasi, mereka juga lebih aktif terlibat dalam diskusi atau aktivitas di ruang virtual.

Di sisi lain, keterbukaan itu juga menjadi celah bagi aksi kekerasan terhadap perempuan. Di ruang privat ataupun publik dalam dunia maya, tindakan tersebut kerap dialami perempuan. Targetnya tidak hanya perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja yang kini cukup sering menggunakan internet atau media sosial.

Survei lembaga Plan International terhadap 14.701 remaja dan dewasa muda perempuan di 22 negara menyebutkan lebih dari separuh responden (58 persen) pernah mengalami kekerasan ketika berinteraksi di media sosial. Sebagian besar menerima lebih dari satu jenis kekerasan di ruang virtual.

Bentuk kekerasan yang dialami beragam. Namun, aksi kekerasan yang kerap diterima adalah berupa perkataan yang menghina dan melecehkan (59 persen), dipermalukan dengan sengaja (41 persen), ancaman kekerasan seksual (39 persen), penghinaan bentuk tubuh atau body shaming (39 persen), dan pelecehan seksual (37 persen).

Berdasarkan keterangan responden, media yang menjadi sarana tindakan ini adalah Whatsapp (60 persen), Instagram (59 persen), dan Facebook (53 persen). Responden juga mengaku bahwa pelakunya tidak hanya orang asing dan anonim saja, tetapi juga kerabat, teman, bahkan pasangan.

Permasalahannya, sering kali kekerasan seksual terhadap perempuan di dunia maya dianggap tidak nyata hanya karena tidak terjadi secara fisik. Ruang virtual menjadi wilayah aman bagi pelaku karena definsi kekerasan dalam ruang ini masih kabur. Pelaku menyangkal perbuatannya dan hanya menganggap tindakannya hanyalah kata-kata komentar atau tanggapan.

Sementara dampak yang dirasakan korban adalah nyata, tidak berbeda dengan dampak dari kekerasan secara fisik. Dalam 1.126 kasus yang dilaporkan melalui platform Take Back the Tech ditemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan di ruang digital berdampak pada psikologi korban. Mereka merasa depresi, khawatir, dan takut. Puncaknya, para korban merasa ingin bunuh diri.

Selain itu, sejumlah korban juga merasa dikucilkan dari komunitas terdekatnya karena foto atau video mereka disebarluaskan dan disalahgunakan. Mereka juga tidak bebas untuk berpergian atau berpartispasi dalam kegiatan offline ataupun online.

Para perempuan ini juga membatasi diri (self-censorship) dalam interaksi daring dan publikasi di media sosialnya. Tak hanya berdampak terhadap psikis saja, dalam beberapa kasus, korban harus kehilangan pekerjaan karena dipecat atas dasar foto atau video yang tersebar.

Hak terenggut

Dalam ranah hak asasi manusia, kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya sudah cukup dibahas secara detail. Namun, perkembangan teknologi komunikasi sebagaimana hampir menggantikan ruang-ruang fisik membuat aksi kekerasan terhadap perempuan dalam ranah daring tersembunyi. Hal ini diperburuk dengan kurangnya hukum yang mengatur tentang tindak kekerasan perempuan dalam ranah daring.

Kekerasan terhadap perempuan yang juga terjadi di dunia maya telah merenggut hak dasar korbannya. Association for Progressive Communications (APC) dalam penelitiannya terhadap Kekerasan Berbasis Jender Online (KGBO) menyebutkan bahwa kekerasan dalam ranah digital termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Jenis pelanggaran HAM dari tindakan ini sama dengan pelanggaran yang disebabkan oleh kekerasan secara fisik.

Aksi kekerasan di ruang digital, seperti pengambilan dan penyebaran data, foto, atau video pribadi, melanggar hak privasi. Dalam beberapa kasus, data pribadi, foto, atau video disalahgunakan hingga mengarah ke penggunaan untuk kebutuhan seksual.

Selain itu, korban juga kehilangan hak untuk menentukan nasibnya (self-determination) dan integritas tubuh (bodily integrity). Hak ini puncak dari hak asasi manusia di mana seseorang berhak untuk mengatur dan mengontrol tubuh dan nasib hidupnya sendiri. Hal ini terjadi saat pelaku kekerasan seksual memaksa dan mengancam target supaya keinginan pelaku terlaksana.

Hal ini diikuti oleh hilangnya hak kebebasan berekspresi. Kekerasan seksual, intimidasi, komentar seksis, pengawasan, hingga ancaman dan tindakan fisik yang berawal dari media daring membuat perempuan membatasi partisipasi mereka dalam kegiatan daring. Bisa jadi mereka benar-benar menarik diri dari dunia digital.

Dengan lingkungan daring yang tidak aman, perempuan tidak dapat dengan bebas mengutarakan pendapatnya atau menunjukkan eksistensinya dalam kampanye atau kegiatan tertentu. Hal ini sering terjadi pada jurnalis, aktivis, seniman, tokoh, atau pembela hak asasi perempuan.

Kondisi ini berlawanan dengan deklarasi lembaga-lembaga dunia yang mendorong partisipasi dan kebebasan berekspresi perempuan melalui media daring. Memang, banyak perempuan menggunakan media ini untuk menyampaikan pendapatnya, mendorong pergerakan kesetaraaan atau kegiatan-kegiatan lain. Namun, sering kali kebebasan berekspresi, terutama dalam dunia internet, menjadi alasan bagi pelaku kekerasan untuk melakukan aksinya.

Upaya perlindungan

Dalam perkembangannya, kekerasan terhadap perempuan, termasuk di ruang daring, dimasukkan dalam pembahasan perlindungan hak asasi manusia. Lembaga dunia, seperti PBB dan UN Human Rights Council (HRC), telah memasukkan permasalahan ini dalam pembahasan tingkat dunia sejak 2006.

Dalam pembahasan bertahun-tahun bersama lembaga lainnya, disepakati bahwa perlindungan yang diberikan kepada hak asasi manusia di dunia nyata juga diberikan kepada hak asasi manusia dalam ruang virtual. Hal ini termasuk diakuinya perlindungan hak-hak perempuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan secara fisik dan juga kekerasan di dunia maya.

Puncaknya adalah pada Laporan United Nations High Commissioner for Human Rights 2017 yang membahas isu jender digital dengan perspektif hak asasi manusia. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kekerasan daring terhadap perempuan perlu diselesaikan dengan konteks yang lebih luas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis jender secara offline. Negara-negara perlu melakukan tindakan hukum untuk menginvestigasi hingga memberikan ganti rugi atau pendampingan kepada korban.

Dalam praktiknya, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ruang daring masih belum maksimal. Di Indonesia sendiri memang terdapat UU ITE yang digunakan sebagai landasan hukum penindakan aksi kekerasan terhadap perempuan di ruang daring, seperti distribusi foto atau video pribadi, cyberstalking, morphing, atau peretasan.

Akan tetapi, dalam aturan tersebut tidak ada perlindungan bagi korban. Sering kali UU ITE justru digunakan untuk mengkriminalisasi korban. Aturan ini juga mengandung pasal-pasal karet yang sering digunakan tanpa berpihak pada perspektif jender.

Korban kekerasan juga belum sepenuhnya mendapatkan tindak lanjut dari pihak perusahaan media sosial. Hal ini dicatat oleh lembaga Amnesty International dalam penelitiannya tentang kekerasan terhadap perempuan di Twitter. Berdasarkan kasus yang dianalisis, sejumlah korban yang melaporkan tindak pelecehan atau kekerasan kepada pihak Twitter tidak direspons.

Padahal, Twitter memiliki kebijakan yang mengatur tindak kebencian dan penyalahgunaan platform media sosial. Sayangnya, hal itu tidak diterapkan sesuai dengan aturannya.

Ketiadaan hukum dan kebijakan yang melindungi dan merespons korban kekerasan di dunia daring menambah beban tersendiri bagi korban. Namun, pertolongan bagi korban dapat didapatkan dari lembaga-lembaga perlindungan, seperti Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), atau lembaga pendampingan psikologis.

Akan tetapi, untuk mendapatkan pertolongan tersebut, dibutuhkan keberanian korban untuk mau melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya ke lembaga-lembaga tersebut. Kendalanya, sebagian besar korban merasa malu atau takut sehingga korban enggan untuk melapor. Atau, korban merasa sudah tidak mendapat dukungan karena laporan yang pernah ia ajukan tidak disepons dengan semestinya.

Dengan kondisi itu, tidak banyak yang bisa diandalkan untuk mencegah terjadi kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Namun, kita dapat mengupayakan cara preventif untuk melindungi data pribadi kita, yaitu dengan mengatur ulang privasi di telepon genggam atau media sosial, menggunakan password yang kuat dan verifikasi ganda, serta tidak memberikan informasi data pribadi kepada sembarang orang. 

Oleh: DEBORA LAKSMI INDRASWARI
Sumber: kompas.id