Hari Anti Sunat Perempuan Internasional atau biasa disebut dengan Hari Tanpa Toleransi Terhadap Sunat Perempuan Sedunia (International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation) diperingati pada tanggal 6 Februari setiap tahunnya. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak bahaya sunat perempuan dan sekaligus sebagai upaya yang terus menerus untuk menghilangkan praktik sunat perempuan di seluruh dunia.
Sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM) di berbagai daerah di Indonesia dan negara lain sangat beragam jenisnya. Namun, WHO mengklasifikasikan menjadi empat jenis. yaitu:
- Klitoridektomi yaitu pemotongan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Pada kasus tertentu hanya pada kulit tipis di sekitar klitoris.
- Eksisi yaitu pemotongan sebagian atau seluruh bagian klitoris dan labia minora dengan atau tanpa pemotongan labia mayora.
- Inibulasi yaitu penyempitan lubang vagina dengan membuat semacam sekat. Sekat dibuat dengan memotong atau memodifikasi bentuk labia minora atau labia mayora. Terkadang dengan cara dijahit.
- Segala bentuk praktik berbahaya yang dilakukan pada genitalia perempuan untuk tujuan nonmedis, misalnya menusuk, menoreh, dan mengusapkan sesuatu ke area genitalia.

Karena tidak ada pendidikan pada sekolah medis/dokter, perawat, dan bidan soal sunat perempuan sehingga tidak adan panduan yang baik dalam pelaksanaannya. Selain itu juga sering dilakukan oleh pihak non-medis sehingga kurang memperhatikan higienitas peralatan yang digunakan. Akibatnya risiko berupa komplikasi yang mencakup rasa sakit, perdarahan berkepanjangan, infeksi pada saluran reproduksi, infertilitas bahkan sampai kematian bisa terjadi.
Data dari UNICEF tahun 2021 memperlihatkan, setidaknya ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik FGM. Indonesia sendiri ternyata berada di peringkat ke-3 jumlah kasus FGM terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.
Memang beberapa negara seperti kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia masih menerapkan praktik FGM kepada wanita atau anak perempuan mereka dengan beragam alasan. Di antara alasan itu adalah; sebagai sebuah ritual peralihan dari kanak-kanak menuju wanita dewasa, juga untuk menekan hasrat seksualitas wanita. Banyak komunitas yang mempraktikkan FGM dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjamin pernikahan atau kehormatan keluarga mereka lebih terjaga di masa depan, bagi seorang gadis. Ada pula yang mengaitkan dengan ajaran agama tertentu walau tidak ada arahan yang demikian dalam kitab suci agama.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengutip dari laporan berita Liputan6, ulama memiliki peranan penting untuk turut menuntaskan berbagai tantangan dalam permasalahan praktik P2GP, sekaligus memperbaiki pandangan-pandangan yang masih keliru di masyarakat. Oleh karena itu KemenPPPA mengajak ulama-ulama pesantren membangun komitmen pencegahan FGM.
Senada dengan Bintang, istri Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid menegaskan bahwa FGM tidak memberikan efek positif. Sebaliknya, ini dapat memberi efek buruk pada perempuan.
“Tidak dibolehkannya mengkhitan perempuan bisa berangkat dari dalil saddu al-dzari’ah, yaitu menutup peluang bagi timbulnya sebuah kemudaratan. Dalam Islam, melukai tubuh itu kemudaratan sehingga tidak diperbolehkan. Ia dibolehkan bahkan diwajibkan kalau di dalamnya mengandung kemaslahatan,” kata Sinta dalam keterangan yang sama.
Itu sebabnya, lanjut Sinta, khitan bagi laki-laki bukan hanya dibolehkan melainkan diwajibkan karena di dalam khitan laki-laki itu terdapat kemaslahatan yang nyata (mashlahah muhaqaqah).
Sementara kemaslahatan dalam khitan perempuan adalah bersifat mazhnunah (kerusakan yang diduga bisa terjadi) bahkan marhumah (diduga kuat), maka dari itu khitan perempuan bisa ditinggalkan.
Sinta juga menegaskan apabila khitan perempuan belum dapat dilakukan dengan teknis yang baik, higienis dan tidak menyakitkan, maka harus ditinggalkan dan tidak dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ulama pemerhati isu perempuan, KH Husein Muhammad menilai, sunat perempuan hanya merupakan tradisi dalam masyarakat. Ia mengusulkan agar negara membuat regulasi pelarangan praktik sunat perempuan. Bahkan, harus ada sanksi bagi siapa saja yang melakukan praktik sunat perempuan. Hal ini merupakan bentuk tindakan dan tanggung jawab pemerintah dalam menjamin kemaslahatan rakyatnya.

Dikutip dari Tribun Kesehatan, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, dari dulu hingga saat ini mitos yang paling sering didapati adalah sunat perempuan dapat mengendalikan hasrat seksual. Inilah yang menjadi dasar alasan mengapa para aktivis HAM khususnya pembela hak perempuan sangat menolak FGM karena sangat mencerminkan diskriminasi terhadap perempuan.
UNICEF merupakan lembaga yang menentang praktik FGM karena praktik seperti ini termasuk pelanggaran terhadap hak anak dan perempuan. Sementara menurut PBB dan WHO, sunat perempuan mencerminkan ketimpangan gender yang mengakar, sekaligus bentuk ekstrem diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak perempuan.
Bahkan WHO menemukan fakta, bahwa sebesar USD 1,4 miliar per tahun digelontorkan untuk membiayai kasus kesehatan akibat kondisi sunat pada perempuan. Direktur Departemen Kesehatan Riset Seksual dan Reproduktif WHO, dr. Ian Askew, dikutip dari laman United Nation, mengatakan bahwa FGM bukan saja bentuk kekerasan pada hak manusia khususnya perempuan yang secara signifikan menyakiti secara fisik dan mental, tapi juga berdampak pada sumber perekonomian.
Jadi apapun alasannya FGM mencerminkan ketidaksetaraan yang mengakar antara jenis kelamin dan merupakan bentuk ekstrim dari diskriminasi terhadap perempuan. Karena latar belakang inilah, setiap tanggal 6 Februari keberadaannya hingga kini masih terus diperingati sebagai Hari Tanpa Toleransi Terhadap Sunat Perempuan Sedunia.
Referensi:
- Tagar.id dengan judul “Sejarah Hari Anti Sunat Perempuan Internasional 6 Februari”. Nov 2021
- Kompas.com dengan judul “Pemerhati Isu Perempuan: Sunat Perempuan Hanya Tradisi Masyarakat”. Okt 2021
- Tirto.id dengan judul “Kenapa Sunat Perempuan atau Female Genital Mutilation Dilarang”. Feb 2021
- Suara.com dengan judul “Hari Anti-Sunat Wanita Sedunia Setiap 6 Februari, Sejarah Awal Mulanya hingga Resiko FGM”. Feb 2022.
- Liputan6.com dengan judul “Bisa Berdampak Buruk, Praktik Sunat Perempuan Tak Dibenarkan Hukum dan Agama”. Nov 2021
- Tribunnews.com dengan judul “Tak Ada Manfaat bagi Kesehatan, Sunat Perempuan Dipraktikkan dengan Alasan Tradisi dan Mitos”. Okt 2021.
- who.int dengan judul “Female Genital Mutilation Hurts Women and Economies”. Feb 2020.