Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah mengesahkan Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 2 tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian pada awal Januari 2025. Pergub ini disahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aturan ini berisi tentang mekanisme perkawinan, perceraian, serta perizinan poligami bagi pegawai negeri sipil di lingkup DKI Jakarta. Alih-alih menjawab mengenai kompleksitas masalah kota, seperti PHK massal, hunian tidak layak, ruang kota yang tidak aman, dan aksesibilitas kota yang belum inklusif, Pemda DKI justru bertindak sebaliknya. Kami, selaku jaringan masyarakat sipil yang mempunyai fokus isu pemberdayaan, perlindungan, serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyoroti beberapa hal yang perlu diperhatikan. Peraturan ini dikhawatirkan tidak menghormati prinsip-prinsip anti diskriminasi terhadap perempuan dengan legitimasi poligami dalam sebuah regulasi formal tingkat daerah.
Terdapat beberapa temuan dan isu kritis yang perlu diperhatikan yang elaborasi dalam poin paragraf di bawah:
- Urgensi yang nihil
Aturan-aturan dalam Pergub telah diatur dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 95 Tahun 1990 yang bisa dikembangkan sebagai regulasi teknis internal dan mengatur penertiban, misalnya terkait pencatatan data keluarga ASN, pengawasan dan pemeriksaan yang diatur. Selain itu, Pergub ini mengatur sanksi yang tidka spesifi.
Selain itu, konteks Pergub ini dapat dilihat tidak selaras dengan semangat anti diskriminasi yang sudah tertuang dalam Ratifikasi CEDAW – Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk penghapusan regulasi-regulasi yang melanggengkan diskriminasi.
Jika fokus utama kekhawatiran terhadap hak asuh dan nafkah anak, terdapat opsi politik selain mengeluarkan Pergub. Misalnya, sebaiknya Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DPPAPP) Jakarta dan Pemda Jakarta melakukan pemantauan terhadap putusan-putusan nafkah anak oleh Pengadilan Agama. Dari sekian banyak putusan yang mewajibkan mantan suami untuk memberikan nafkah kepada anak, implementasi mekanisme pemberian nafkah anak masih belum maksimal. Parahnya lagi, tidak ada pengawasan terkait hal ini baik oleh pihak Pengadilan Agama di wilayah setempat maupun institusi negara lainnya. Selain itu, opsi lain adalah dapat didorong lewat Mahkamah Agung untuk meregulasi tentang hak nafkah anak. Intinya, tinjauan kritis lebih jauh diperlukan terkait apakah pergub ini dapat menjadi jaminan mutlak untuk memastikan nafkah anak dan permasalahan perkawinan lainnya dapat teratasi.
- Normalisasi Poligami sebagai Praktik Kekerasan terhadap Perempuan
Bahwa substansi Pergub ini menormalisasikan poligami, dimana hal ini bertentangan dengan asas perkawinan yang tercantum dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, yaitu monogami. Legitimasi poligami dalam suatu aturan menunjukkan hegemoni patriarkal dalam tubuh pemerintahan. Komnas Perempuan menyatakan, ada kelindan erat antara praktik poligami, perselingkuhan, dan kekerasan terhadap perempuan. Justifikasi poligami dalam sebuah peraturan dirasa melanggengkan praktik kekerasan terhadap perempuan baik dalam semua aspek. Persyaratan dalam poligami juga masih sangat rancu, bias, dan tidak menghormati dasar-dasar hak asasi manusia.
Poligami merupakan praktik budaya yang pelanggengan subordinasi dan diskriminasi perempuan dalam ranah privat. Atas dasar adanya pandangan istri yang menjadi subordinat dari suami, beberapa kasus dampingan di wilayah Jakarta, di mana istri yang menjadi korban kekerasan mental dari proses perizinan poligami. Dalam catatan 21 tahun Komnas Perempuan, Perkawinan siri untuk poligami ini juga menjadi salah satu kasus KTI yang mendorong terjadinya berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti psikis, fisik dan penelantaran. Dibandingkan berfokus kepada pengaturan tentang poligami, Pemda Jakarta melalui DPPAPP lebih baik berfokus terhadap pengawasan KDRT yang sering diselesaikan dengan mediasi di oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
- Inkonstitusional Pengesahan Pergub
Pergub ini disahkan pada 9 Januari 2025 yang merupakan masa transisi dari pemerintahan PJ Gubernur menuju proses gubernur terpilih. Seharusnya, Pergub ini tidak dapat disahkan dalam masa transisi ini. Selain itu, dalam penelusuran kami, pengesahan Pergub ini juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil, sebagaimana kontradiktif dengan pernyataan Tim PJ Gubernur yang menyampaikan bahwa pembahasannya sudah dari tahun 2023. Meninjau sensitivitas isu dan polemik dari Pergub ini, tim PJ Gubernur seharusnya juga melampirkan tinjauan akademik yang mendukung dengan basis argumentasi yang kuat.
Pengesahan Pergub ini tidak sejalan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak yang telah diinisiasi oleh Pemda Jakarta pada pertengahan-akhir tahun 2024 lalu. Pemda melalui DPPAPP saat ini dalam proses merevisi Perda No. 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan yang dirasa perlu diperluas dan diperbaharui. Dengan adanya inisiasi ini, Pemda DKI Jakarta cenderung terlihat ambigu dan patut untuk dipertanyakan setelah keluarnya Pergub Poligami ini. Melihat kompleksitas poligami yang menjadi pintu awal dari praktik kekerasan terhadap perempuan, Pergub ini tidak mempunyai signifikansi dalam ‘melindungi perempuan dari kekerasan’, namun justru semakin memperkuat domestifikasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Rekomendasi
- Mencabut Pergub No 2 Tahun 2025 sebagai upaya konkret dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di wilayah Pemda Jakarta;
- Memastikan proses-proses penyusunan regulasi ke depan dengan melibatkan peran serta masyarakat sipil yang berarti;
- Fokus untuk melanjutkan pembahasan peraturan-peraturan daerah lain yang selaras dalam mewujudkan inklusivitas yang mengedepankan kelompok-kelompok rentan seperti Peraturan Daerah Bantuan Hukum dan peraturan-peraturan lainnya;
Profil Singkat Jaringan Perempuan Peduli Kota Jakarta
- Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia
Koalisi Perempuan Indonesia adalah ormas perempuan yang dideklarasikan pada Desember 1998. Telah memiliki struktur organisasi di 28 Propinsi, juga anggota dari berbagai latar belakang sampai saat ini berjumlah ± 43.000, berpegang teguh kepada nilai-nilai dan prinsip kejujuran, keterbukaan, persamaan, kesetaraan, persaudarian (sisterhood), kebebasan, kerakyatan, kemandirian, keberagaman, non- sektarian, non- partisan, nir kekerasan, berwawasan lingkungan dan solidaritas pada rakyat kecil dan yang tertindas. Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan Hak politik perempuan dan mendorong partisipasi perempuan berkontribusi secara bermakna dalam pembangunan.
- Nia Sjarifuddin, Ketua Aliansi Bhineka Tungkal Ika (ANBTI)
ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) adalah jaringan nasional beragam individu & lembaga yang dideklarasikan tahun 2006 dengan visi misi mempertahankan dan merawat konsensus kebangsaan PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI & UUD 1945). Memperjuangkan kebijakan yang menghormati yang ber Bhineka dan kelompok marjinal dan tertindas. Mendorong perempuan berkontribusi penuh dalam bisang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
- Listyowati, Ketua Pengurus Yayasan Kalyanamitra
Yayasan Kalyanamitra, Organisasi Perempuan yang didirikan di Jakarta pada 28 Maret 1985 dengan visi jangka panjang yaitu terwujudnya sistem masyarakat dan negara yang berkeadilan gender melalui penguatan kapabilitas perempuan dengan prinsip kepedulian dan solidaritas. Tiga isu strategis Kalyanamitra adalah kontrol perempuan terhadap ruang hidupnya di berbagai bidang, kritis terhadap kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan pengalaman perempuam sebagai rujukan pengetahuan feminisme.
- Ririn Sefsani, Senior Consultant GEDSI
Sebagai konsultan senior untuk berbagai proyek dan organisasi dengan bidang spesialisasi GEDSI, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Lingkungan dan Perubahan Iklim, Pengembangan organisasi, Perencanaan dan Penganggaran, Transportasi dan Logistik, Reformasi Partai Politik, dan reformasi birokrasi. memiliki lebih dari 15 tahun pengalaman kerja dengan berbagai organisasi nasional dan internasionaldan mengelola berbagai program multi-donor seperti dari USAID, AusAID, EKN, NIMD, CIDA, Walton and Family Foundation, Packard, Ford Foundation, IUCN, Oxfam, AFD, dll.
- Illian Deta Sari, Pengacara Publik dan Aktivis Perempuan
Sebagai aktivis perempuan dan juga berprofesi sebagai pengacara publik hampir 10 Tahun lebih. Melakukan berbagai advokasi dalam isu pemberantasan korupsi, akuntabilitas penyelenggaran negara (good governance). Juga banyak mendampingi kasus-kasus kekerasan berbasis gender dan HAM. Aktif juga melakukan advokasi reformasi hukum dan kebijakan yang berperspektif gender.
- Valentina Sagala, Direktur Institut Perempuan/ Dosen Senior Universitas Jayabaya
INSTITUT PEREMPUAN, berdiri sejak 1998, adalah organisasi perempuan yang memperjuangkan dan membela hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan dan anak. Misi INSTITUT PEREMPUAN adalah memperjuangkan dan membela hak-hak perempuan melalui gerakan perempuan untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemanusiaan. INSTITUT PEREMPUAN bertujuan menciptakan dan menjadi bagian dari gerakan perempuan yang setara dengan gerakan pro-rakyat lainnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Awal berdirinya, program utama INSTITUT PEREMPUAN: kampanye, pendidikan kritis, pendampingan korban, dan advokasi. Saat ini program: (1) Pendidikan Kritis, (2) Informasi dan Dokumentasi, (3) Pendampingan dan Pemberdayaan; (4) Advokasi Hukum dan Kebijakan. Website: https://www.institutperempuan.or.id/
- Uli Pangaribuan, Direktur LBH (Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan) APIK Jakarta
LBH APIK Jakarta Dideklarasikan dalam Kongres APIK II (4-6 Juli 2000), sejak tahun 2001 LBH APIK Jakarta menyatakan diriotonom dan memfokuskan kegiatannya pada wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Lembaga Non-Profit yang Memberikan Bantuan Hukum secara Gratis bagi Perempuan Korban Pencari Keadilan dengan Lingkup Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya. Untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, setara, adil dan berkelanjutan melalui perubahan sistem hukum yang berkeadilan gender.
- Mutya Gustina, Program Officer, Kapal Perempuan
KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan) Organisasi masyarakat sipil khususnya organisasi perempuan yang melakukan pendidikan kritis, advokasi, dan pengorganisasian dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Perempuan (HAP), dan pluralisme. didirikan pada 8 Maret 2000 oleh para aktivis. Organisasi ini didirikan untuk merespons konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia, serta pelanggaran hak-hak asasi perempuan.
- Intan Kusuma, Program Officer International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID)
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) adalah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. Pergerakan kami dituangkan melalui advokasi kebijakan yang berbasis bukti. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan UN Special Consultative Status with the Economic and Social Council (ECOSOC). INFID bekerja pada tiga program inti: 1) Democratic & Gender Justice of Climate Governance, 2) Inclusive & Equitable Development dan 3) Civil Society for Human Rights & Democracy
- Nanda Dwinta, Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) adalah lembaga sosial/nirlaba yang didirikan pada tanggal 19 Juni 2001 di Jakarta oleh para akvis yang peduli terhadap kondisi kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia dengan cara merespons langsung berbagai isu kesehatan perempuan yang saat ini dianggap kontroversial. Dalam perjalanannya selanjutnya, YKP menjalankan strategi yang sistematis difokuskan pada pemenuhan hak-hak Kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan yang masih terabaikan.
- Nanen Danielle, Pengacara Publik
Sebagai advokat perempuan, aktif sejak tahun 2015 menjadi Advokat Probono di LBH APIK Jakarta. Dan sejak tahun 2017 bersama dengan beberapa orang aktivis perempuan mendirikan Lembaha AKARA Perempuan yg menjd salah satu lembaga rujukan utk pendampingan dan penanganan kasus2 Kekerasan terhadap Perempuan dari Komnas Perempuan. Disamping itu juga aktif sebagai salah satu pengurus dari perkumpulan Advokat Feminis Indonesia/Indonesia Feminist Lawyers Club (IFLC), serta juga mendirikan Kantor Pengacara: SAMSOERI & DEWABRATA Law Firm.
- Pera Sofariyanti, Direktur Rahima
Rahima adalah gerakan yang mengusung “Ulama Perempuan untuk Kemanusiaan dan Alam” yang berdiri sejak tahun 2000. Rahima merupakan salah satu inisiator utama kongres ulama perempuan indonesia thn 2017. Visi Rahima adalah terwujudnya masyarakat yang mampu bertransformasi melalui kesadaran kritis menuju kehidupan yang penuh kasih sayang, bermartabat, berkeadilan sosial dan berkelanjutan. Salah satu program utama Rahima adalah Pendidikan Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sebagai upaya untuk melahirkan Ulama Perempuan yang memiliki keberpihakan, pengetahuan dan mampu membuat perubahan. Ruang khidmah atau ruang juang Ulama Perempuan Rahima berada di pesantren, majelis taklim, perguruan tinggi, komunitas dan anak muda.
- Adzka Haniina Albarri, Filantropi The Asian Muslim Action Networking (AMAN)
The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, organidasi masyarakat sipil yang berfokus pada pendidikan perempuan di akar rumput, melakukan pengorganisasian komunitas melalui kelompok perempuan dan melakukan advokasi nasional dan internasional terkait dengan Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace, and Security).
- Novita Sari Novelis, Anggota Forum Pengada Layanan
Forum Pengada Layanan (FPL) merupakan jaringan penyedia layanan untuk Perempuan Korban kekerasan berbasis gender berbasis Masyarakat, beranggotan 87 anggota di 32 provinsi di Indonesia. FPL berdiri sejak Tahun 2000 – awalnya bernama Forum Belajar, Tahun 2016 berubah menjadi (FPL). FPL memiliki visi “Terpenuhinya hak-hak perempuan korban kekerasan atas kebenaran, keadilan, pemulihan, serta jaminan atas ketidakberulangan sebagai perwujudan dan dukungan atas upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan melalui pelaksanaan tanggungjawab negara, perubahan kondisi sosial yang lebih berkeadilan dan pemberdayaan termasuk perempuan yang mengalami kekerasan”. Selain aktif dalam melakukan pendampingan Perempuan korban, FPL juga aktif dalam mendorong kebijakan yang berperspetif HAM dan Gender.