“Saya senang bisa membantu perempuan lain untuk berdaya dan dapat menemukan informasi yang tepat untuk mendapatkan bantuan dan keamanan,” kata Faizah, seorang relawan komunitas perempuan dari Desa Bulubete, Sigi, Sulawesi Tengah.
Faizah merupakan salah satu peserta aktif dalam program pelatihan untuk memperkuat respons masyarakat dalam pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) di Palu dan Sigi, Sulawesi Tengah, yang diselenggarakan oleh United Nations for Populations Fund (UNFPA) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hak-hak perempuan dan perlindungan dari kekerasan, pada tahun 2019.
Saat ini, ia menjadi relawan aktif KPKP-ST dan anggota gugus tugas di Desa Bulubete yang bekerja tanpa lelah untuk memberikan dukungan pendampingan bagi para penyintas kekerasan berbasis gender di Desa Bulubete, Kabupaten Sigi.
Tahun ini, ia berpartisipasi dalam pelatihan komunikasi perubahan perilaku kesehatan reproduksi untuk pencegahan perkawinan anak yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) pada tahun 2022, bekerja sama dengan KPPPA dan UNFPA. Didukung oleh Global Affairs Canada, pelatihan ini merupakan bagian dari inisiatif bersama dengan UNICEF yang bertajuk Better Sexual and Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (BERANI).
Memberdayakan perempuan dan anak perempuan di komunitasnya
Tepat setelah gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi melanda Sulawesi Tengah pada tahun 2018, perempuan dan anak perempuan menghadapi ketidakamanan yang tak berkesudahan dalam kondisi yang mengerikan. Di tempat penampungan yang penuh sesak, perempuan dan anak perempuan tinggal berdampingan dengan laki-laki dan anak laki-laki yang tidak memiliki hubungan keluarga, seringkali tanpa sekat yang aman di antara tenda-tenda tersebut.
Sebagai respons terhadap bencana tersebut, UNFPA Indonesia bekerja sama dengan bantuan kemanusiaan Pemerintah Indonesia bekerja sama untuk memastikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang menyelamatkan jiwa menjangkau perempuan dan anak perempuan. Bekerja sama dengan KPPPA, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu, serta LSM lokal seperti KPKP-ST dan Libu Perempuan, UNFPA Indonesia mendirikan tenda ramah perempuan di 12 wilayah di Palu, Sigi, dan Donggala. Bekerja sama dengan para mitra, UNFPA juga mendirikan ruang ramah perempuan dan remaja di mana perempuan dan anak perempuan dapat mengakses dukungan psikososial untuk pemulihan trauma, serta layanan kesehatan reproduksi dan kekerasan berbasis gender dan informasi penting lainnya.
Soraya Sultan, Kepala KPKP-ST, menyoroti pentingnya tenda dan ruang ramah perempuan, terutama selama masa darurat dan bencana. “Berbagai bentuk kekerasan berbasis gender sering kali terjadi bahkan dalam situasi pascabencana. Bahkan untuk pergi ke kamar mandi saja sudah berisiko bagi perempuan dan anak perempuan yang tinggal di tenda. Kami menerima laporan tentang kasus kekerasan seksual (selama bencana Sulawesi Tengah),” kata Soraya. “Tenda ramah perempuan membuat perbedaan penting dalam memastikan keamanan perempuan dan memberikan dukungan bagi para korban kekerasan berbasis gender dengan memberikan layanan psikososial dan trauma healing ketika layanan terganggu,” katanya.
Menurut Soraya, ruang aman bagi perempuan dan layanan bagi para penyintas KBG harus tetap ada bahkan setelah bencana. Hal ini juga mendorong inisiatif KPKP-ST untuk membekali dan memperkuat kapasitas para relawan untuk mendukung penanganan dan pendampingan korban KBG. Dengan dukungan UNFPA, KPKP-ST melatih lebih dari 60 relawan untuk menjadi pendamping dan manajer kasus bagi para penyintas KBG pada tahun 2019.
Faizah, sebagai salah satu relawan komunitas, berpartisipasi dalam pelatihan tersebut. Didorong oleh semangat untuk membantu dan memberdayakan penyintas KBG serta mencegah pernikahan anak perempuan di desanya, Faizah mulai merasakan panggilan tersebut setelah menyaksikan sendiri dampak bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah tahun 2018 terhadap perempuan dan anak perempuan. Hal itulah yang mendorong Faizah untuk bergabung menjadi relawan di tenda ramah perempuan, dan dari sinilah perjalanannya dimulai.
Ruang ramah perempuan: tempat yang aman bagi perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan layanan dan perlindungan
Sebagai seorang relawan masyarakat, peran aktif Faizah dalam memberikan perawatan dan dukungan kepada para penyintas KBG tidak berhenti bahkan setelah situasi darurat berakhir. Saat ini, ia mengelola ruang ramah perempuan di Desa Bulubete di mana ia memfasilitasi sesi pendidikan untuk perempuan, remaja, dan laki-laki, serta memberikan perawatan dan dukungan bagi para penyintas KBG untuk mengakses bantuan dan keamanan.
“Ruang ramah perempuan adalah tempat yang aman bagi perempuan dari Bulubete dan desa-desa sekitarnya untuk berkumpul dan berbagi cerita. Perempuan dan anak perempuan berkumpul untuk mendiskusikan topik-topik penting seperti kesehatan seksual dan reproduksi dan bahkan hanya untuk berbagi cerita tentang hari-hari mereka,” kata Faizah. “Para penyintas KBG juga datang ke ruang ramah perempuan untuk mencari bantuan dan dukungan… Ini adalah cara saya menjangkau lebih banyak perempuan dan memberikan dukungan melalui penyediaan ruang yang aman bagi para penyintas KBG,” lanjutnya. Ruang ramah perempuan ini juga berfungsi sebagai tempat kegiatan Posyandu Remaja.
Di desanya, Faizah dikenal sebagai wali bagi para penyintas yang mencari dukungan ketika mereka menghadapi KBG, seperti kekerasan oleh pasangan. Dia juga telah mengembangkan hubungan dekat dengan para petugas garda depan KBG di desa Bulubete, termasuk dari DP3A dan penegak hukum, sehingga menjadikannya sukarelawan komunitas yang terampil dan berpengetahuan luas dalam memberikan layanan kepada para penyintas KBG.
Berpartisipasi dalam pelatihan yang baru-baru ini diadakan tentang Kesehatan Reproduksi Seksual untuk Pencegahan Perkawinan Anak, Faizah dengan antusias membagikan dukungan aktifnya kepada para penyintas kekerasan berbasis gender dan kontribusinya terhadap ruang ramah perempuan di desa Bulubete. Ia juga berharap dapat membagikan pengetahuannya kepada perempuan dan anak perempuan di Desa Bulubete untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan reproduksi dan pencegahan perkawinan anak.

Faizah telah meningkatkan kepercayaan dirinya dalam mendiskusikan topik-topik penting seperti pencegahan perkawinan anak dengan perempuan dan anak perempuan setelah mengikuti pelatihan.
“Saya memiliki banyak rencana dan harapan untuk ruang ramah perempuan setelah kembali dari pelatihan ini. Saya ingin mengadakan kegiatan edukasi untuk perempuan dan anak perempuan dan mendiskusikan topik-topik penting seperti kesehatan reproduksi seksual yang penting untuk pencegahan perkawinan anak di desa saya (Bulubete),” tambahnya.
Dukungan berkelanjutan bagi penyintas KBG di tingkat komunitas sangat dibutuhkan
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 menemukan bahwa 1 dari 4 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya. Statistik yang menakutkan ini mencerminkan bahwa dukungan yang mendesak diperlukan bagi para penyintas KBG untuk mengakses layanan berkualitas, terutama di tingkat komunitas, dan mencari keadilan.
Sebagai fasilitator dan relawan aktif di ruang ramah perempuan, Faizah telah mengalami sendiri perjalanan memberikan layanan dan dukungan kepada para penyintas KBG sejak fase pascabencana hingga saat ini.
Faizah berharap adanya dukungan yang lebih besar bagi para penyintas KBG. “Dengan kendala yang kami hadapi, saya berharap ada lebih banyak sumber daya atau dukungan. Saya ingin menjangkau dan mendukung lebih banyak perempuan, terutama yang mengalami kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, melalui ruang-ruang yang lebih ramah perempuan,” tegasnya.
Penulis: Cresti Eka Fitriana, Youth Engagement Focal Point for Gender Programme UNFPA
Sumber: https://indonesia.unfpa.org/