Praktik perkawinan anak di Indonesia masih marak kita temui baik di kota maupun di desa. Hal ini
menjadi pekerjaan rumah bersama dan menjadi isu penting yang perlu diatasi. Angka perkawinan
anak di tingkat nasional saat ini trendnya terindikasi menurun namun beberapa provinsi di Indonesia masih cukup tinggi dan berada di atas angka nasional (11,21%). Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan angka perkawinan anak dalam RPJMN tahun 202 sebesar 8.74% sedangkan target penurunan angka perkawinan anak di Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 menjadi 6.94%.
Perkawinan anak di Indonesia merupakan isu kompleks yang berkaitan erat dengan kekerasan berbasis gender dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Praktik ini tidak hanya mengancam kesehatan dan pendidikan anak perempuan, tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender yang ada dalam masyarakat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya perkawinan anak di Indonesia di antaranya adalah faktor pendidikan, kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi pada anak dan remaja sehingga menyebabkan perilaku seks berisiko, faktor ekonomi (kemiskinan), faktor budaya (tradisi/adat), dan perjodohan. Penyebab perkawinan anak di semua wilayah di Indonesia bersifat kompleks, saling terkait dan terjalin erat dengan situasi sosial dan ekonomi serta konteks budaya.
Berbagai upaya dan strategi pencegahan perkawinan anak telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat yang berfokus pada isu pencegahan perkawinan anak. Salah satunya adalah upaya kolaborasi Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan United Nation Population Fund (UNFPA) melakukan diskusi intensif untuk mendukung berbagai upaya pencegahan perkawinan anak fokus pada penguatan pemahaman Kespro remaja untuk pencegahan perkawinan anak, dengan pendekatan menggunakan komunikasi perubahan perilaku remaja untuk pencegahan perkawinan anak di Indonesia yang dilakukan sejak tahun 2021.
Program ini setidaknya dapat mengungkapkan bahwa anak yang diperkuat dengan kapasitas seputar hak dan kesehatan reproduksinya anak akan memiliki kekuatan positif untuk melakukan perubahan yang lebih baik, bertindak atas dasar pilihannya sendiri untuk merespon berbagai tantangan atau ancaman resiko yang harus dihadapinya. Dalam situasi yang sulit anak tidak akan tinggal diam, tetapi mereka dapat melakukan upaya sehari-hari atau terlibat dalam aksi atau yang lebih terorganisasi dalam rangka mencegah perkawinan anak.
Namun, sebagai upaya keberlanjutan yang tidak terbatas dalam sebuah program semata, kita perlu merefleksikan bersama seberapa besar pengakuan masyarakat akan hak anak? seberapa jauh anak mampu merebut haknya dan mengambil peran untuk terbebas dari perkawinan anak dan segala bentuk kekerasan? Serta bagaimana orang dewasa memberikan dukungan agar terpenuhinya hak anak dan menciptakan lingkungan yang mendukung.
Bagi banyak anak perempuan di seluruh dunia, perkawinan anak dan kekerasan saling terkait. Selama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), kita harus berupaya memahami dan mengungkap beberapa alasan utama anak perempuan mengalami kekerasan, termasuk dinamika kekuasaan yang sering mereka alami dalam hubungan yang terpaksa mereka masuki sebelum mereka siap, dengan seseorang yang tidak mereka pilih.
Tujuan dari kegiatan webinar ini adalaha mendapatkan informasi terkait pemenuhan hak anak pada tingkat daerah. juga menjadi upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemenuhan hak anak dan pencegahan perkawinan anak. Selain itu webinari ini juga bertujuan berbagi pengalaman dan praktik baik dari kelompok remaja dalam mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak melalui edukasi Kesehatan reproduksi dan menciptakan ruang diskusi bagi seluruh peserta termasuk stakeholder dan menghasilkan rekomendasi bersama
Kegiatan webinar dilaksanakan pada tanggal 21 November 2024 secara online zoom, dengan moderator, dan narasumber dari perwakilan kelompok remaja yang telah mengikuti kegiatan ini dari Kab. Garut, Kab. Lombok Timur dan Jakarta Utara. Selain itu juga ada penanggap dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dan perwakilan UNFPA, juga dari perwakilan Pemerintah Daerah dan Organisasi Masyarakat (Dinas P3A Kabupaten Garut, Lombok/Palu) dan dari organisasi masyarakat sipil, pemerintah nasional dan daerah dan media.