Jakarta, 7 Agustus 2024, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyambut baik terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 sebagai peraturan turunan dari UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. YKP memberikan perhatian khusus pada pengaturan kesehatan reproduksi yang diatur dalam Pasal 96 hingga Pasal 130 dari PP ini dan mengeluarkan tanggapan serta rekomendasi terkait beberapa aspek penting.
Dalam hal pengaturan aborsi, YKP mengapresiasi upaya pemerintah yang telah menerjemahkan UU Kesehatan ke dalam PP yang selaras dengan kebijakan lainnya, termasuk UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pengaturan mengenai aborsi untuk indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 hingga 124 PP No. 28 Tahun 2024, telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Aborsi dalam kasus-kasus indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat tindak pidana kekerasan seksual merupakan bagian penting dari upaya rehabilitatif yang harus diberikan kepada korban sebagai hak akses kesehatan mereka, hal ini bukan hal baru karena telah diatur pada UU Kesehatan yang lama (UU No. 36 tahun 2009) ” ujar Frenia Nababan, Ketua Pengurus Harian YKP. “Kami berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana dan melibatkan elemen masyarakat sipil dalam prosesnya agar regulasi ini dapat diterapkan dengan efektif tanpa menyulitkan korban dan pendampingnya.”
Lebih lanjut Frenia menambahkan, “ Kami juga mendorong pembentukan Pelayanan Terpadu yang mencakup pemeriksaan kesehatan fisik dan mental, pemberian kontrasepsi darurat, pemeriksaan dan pencegahan infeksi menular seksual (IMS), serta pendampingan psikologis dan hukum bagi korban kekerasan seksual dan perkosaan. Pemerintah diharapkan dapat segera menyiapkan fasilitas kesehatan sebagai tindak lanjut yang sesuai dengan standar terbaik, termasuk tenaga medis dan tenaga kesehatan yang kompeten, profesional, tidak diskriminatif dan berprespektif korban”.
YKP juga mengajak media dan masyarakat untuk memberikan dukungan kepada korban tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual, baik yang memilih untuk melakukan aborsi maupun melanjutkan kehamilan, agar mereka dapat terhindar dari stigma dan diskriminasi, serta memperoleh jaminan keamanan baik fisik, psikologis maupun sosial.
Dalam hal pengaturan kontrasepsi, YKP menilai bahwa kontrasepsi merupakan bagian integral dari pengaturan kesehatan reproduksi yang komprehensif, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 hingga Pasal 130 PP No. 28 Tahun 2024. Upaya kesehatan reproduksi meliputi berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif, yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan siklus hidup manusia.
“Kami menilai bahwa kontrasepsi merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang harus diberikan berdasarkan kebutuhan individu setelah mempertimbangkan pilihan-pilihan terbaik melalui upaya kesehatan yang komprehensif, mulai dari preventif hingga rehabilitatif, dan/atau paliatif. Kontrasepsi harus diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan terbaik bagi individu melalui upaya kesehatan yang menyeluruh,” kata Nanda Dwinta, Direktur Eksekutif YKP. “Pelayanan kontrasepsi merupakan bagian dari rangkaian layanan kesehatan reproduksi yang lebih luas dan harus terintegrasi dengan upaya kesehatan lainnya untuk memastikan pendekatan yang menyeluruh dan efektif.”
Nanda menambahkan, “YKP menekankan pentingnya pemenuhan kesehatan reproduksi sesuai dengan siklus hidup manusia dan kebutuhannya, termasuk bagi mereka yang berada pada usia sekolah dan remaja termasuk bagi remaja yang mengalami perkawinan anak. Pelayanan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 (4.e), adalah upaya preventif penting untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, serta perkawinan anak dan kematian ibu serta bayi akibat risiko reproduksi usia dini. Kontrasepsi harus terintegrasi dengan layanan kesehatan reproduksi lainnya untuk memastikan pendekatan yang menyeluruh dan efektif.”
YKP menekankan secara khusus pada pelayanan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja harus melalui proses edukasi yang matang dan konprehensif dengan menggunakan pendekatan dan perspektif anak usia sekolah dan remaja. Selain itu, pelayanan kontrasepsi juga harus dibersamai dengan persetujuan (atau pendampingan) walinya, baik dari orang tua atau orang dewasa lain yang bertanggung jawab atas hidup dan diri anak/remaja tersebut. Pelayanan kontrasepsi pada anak (remaja) tidak dapat dimaknai sebagai layanan yang serta merta dilakukan tanpa prosedur ketat yang mempertimbangkan risiko, konsekuensi dan bukan layanan pembenaran atas perilaku seksual beresiko pada anak usia sekolah dan remaja
Demi terpenuhinya hak kesehatan reproduksi pada usia anak dan remaja, YKP menekankan dengan sungguh-sungguh kepada pemerintah untuk memastikan penerapan/implementasi pendidikan kesehatan reproduksi pada anak/remaja secara masif, terintegrasi, dan terpantau telah benar-benar terlaksana pada seluruh sistem pendidikan di Indonesia, terutama pada pendidikan formal dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah.
Selain itu, YKP mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menghapuskan praktik sunat perempuan, atau Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), sebagai salah satu bentuk upaya kesehatan reproduksi. Praktik P2GP ini tidak memberikan manfaat kesehatan dan berasal dari tradisi diskriminatif yang mengancam kesehatan dan keselamatan perempuan.
YKP mengajukan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, memastikan pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan aturan turunan UU Kesehatan, untuk menjamin kualitas layanan kesehatan yang komprehensif, tepat waktu, inklusif, adil, setara dan bebas stigma. Kedua, memastikan bahwa Pelayanan Terpadu mencakup standar minimal seperti pemeriksaan kesehatan fisik dan mental, pemberian kontrasepsi darurat, pemeriksaan dan pencegahan IMS, serta pendampingan psikologis dan hukum yang mudah diakses oleh korban kekerasan seksual dan perkosaan. Ketiga, memastikan pembiayaan bagi penanganan korban kekerasan seksual, termasuk bantuan hukum dan psikologis, sehingga layanan terpadu difasilitasi sepenuhnya oleh negara dan dapat diakses secara gratis. Terakhir, menyiapkan fasilitas kesehatan tindak lanjut dengan standar terbaik dan memastikan integrasi serta implementasi lintas kementerian dan lembaga terkait.
Dengan diterbitkannya PP ini, YKP berharap pemerintah dapat memastikan bahwa setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima sesuai dengan kebutuhan masing-masing demi derajat kesehatan terbaik dan tanpa diskriminasi.
Hormat kami,
Yayasan Kesehatan Perempuan