Menurunkan angka perkawinan anak menjadi salah satu target baik dalam RPJMN dari 11.72 % di tahun 2018 dan 8.74% di tahun 2024, serta target pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) di tahun 2030 menjadi 6.94%. Maka dalam upaya penghapusan praktik perkawinan anak dan mencapai target dalam SDGs diperlukan sebuah langkah konkrit dan kerja bersama atau kolaborasi. Paska dinaikkannya usia minimum menikah bagi anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun atau sama dengan batas minimum menikah bagi anak laki-laki yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah kebijakan turunan seperti peraturan mahkamah agung (Perma), beberapa peraturan menteri, peraturan bupati serta peraturan daerah yang mana faktanya perkawinan anak di Indonesia belum secara signifikan turun. Dispensasi kawin (Diska) oleh oknum menjadi peluang masih dilangsungkannya perkawinan anak, prinsip kepentingan terbaik pada anak masih belum menjadi pertimbangan dalam proses Diska mulai dari pengajuan permohonan hingga putusan. Tidak jarang diska dianggap sebuah ketentuan yang masih melanggengkan perkawinan anak, karena minimnya pengetahuan secara utuh akan dampak buruk dari perkawinan anak tidak hanya berdampak bagi anak perempuan atau anak laki-laki, masyarakat tetapi juga negara.
Maka mengisi “gap” kurangnya pengetahuan dalam memahami dampak dari perkawinan anak diperlukan sejumlah langkah yang dapat memperkuat pemahaman hingga tumbuh sebuah kesadaran yang menjadi sebuah perubahan perilaku di masyarakat terkait praktik perkawinan anak yang berdampak pada kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, stunting serta kematian ibu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) sejak tahun 2021 melakukan inisiatif pencegahan perkawinan anak menggunakan metode Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) melalui pemberian informasi Kesehatan Reproduksi Remaja. KPP adalah sebuah proses konsultatif berbasis analisis untuk menangani pengetahuan, sikap, dan praktik perubahan perilaku transformatif melalui dialog publik dan individu yang akhirnya memiliki tujuan untuk berkontribusi pada beberapa hal sebagai berikut: perubahan perilaku, menghilangkan praktik sosial dan budaya yang dianggap berbahaya, serta mengubah norma sosial dan ketidaksetaraan struktural.
Dengan memberikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi (kespro) kepada sejumlah kelompok remaja, komunitas remaja atau kader diharapkan dapat memperkuat kesadaran dan meningkatkan pengetahuan mereka sehingga mereka dapat mengambil peran dalam penghapusan praktik perkawinan anak seperti menjadi ‘peer educator’ atau pendidik sebaya, melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak dari aspek Kespro dan Gender bahkan terlibat dalam advokasi menyuarakan hak remaja agar terbebas dari ancaman perkawinan anak. Suara remaja menjadi sangat penting dan perlu didengar semua pihak termasuk masyarakat agar kita sebagai orang dewasa dapat memberikan sebuah lingkungan yang mendukung dan memberikan perlindungan pada anak sehingga anak tidak terjerumus ke dalam resiko Kespro seperti perkawinan anak dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang menyumbang terjadinya perkawinan anak,
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) selama kurang lebih 20 tahun bekerja pada isu pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) salah satunya fokus bekerja pada isu penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, menginisiasi adanya program Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) bekerjasama dengan KPPPA RI yang didukung oleh United Nation Population Fund (UNFPA) dalam upaya pencegahan perkawinan anak di 4 wilayah piloting dengan wilayah awal program di tahun 2021 yaitu Kota Jakarta Utara, Kab. Cirebon, Kab. Sigi dan Kota Palu dan pada tahun 2024 penambahan 2 wilayah yaitu: Kab Garut dan Kab Lombok Timur. Pelibatan daerah merupakan upaya yang penting melihat jumlah kasus yang terjadi sehingga berdampak pada masyarakat setempat. Maka partisipasi pemerintah daerah menjadi hal yang sangat penting pada program ini mulai dari wewenang pemda hingga keberlanjutan program ini dimana diharapkan metode KPP dapat memberikan pilihan metode yang dapat digunakan pemda dan masyarakat setempat dalam mencegah dampak dari perkawinan anak.
Maka sebelum memulai rangkaian pelatihan kesehatan reproduksi remaja di 3 daerah tersebut diadakan acara Kick-Off meeting pada tanggal 24 Juli 2024 untuk mendiskusikan lebih detail program KPP ini dengan mengundang pihak Pemda dalam hal ini khususnya Dinas Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) serta organisasi masyarakat sosial (OMS) setempat untuk menjelaskan rancangan program dan juga mendiskusikan hal-hal teknis pelaksanaan program di wilayah setempat yang harapannya bisa memberikan dukungan serta dapat mengintegrasikan program KPP Kespro Remaja ini dengan kerja-kerja di instansi atau lembaganya masing-masing.