Pernikahan di bawah umur masih saja terjadi. Ada sejumlah alasan yang melatari. Paling banyak karena alasan ekonomi dan keluar dari kemiskinan. Terakhir, terjadi pernikahan dini antara anak lelaki lulusan Sekolah Dasar (SD) berinisial RK yang masih berusia 13 tahun dengan seorang siswi SMK berinisial MA yang berusia 4 tahun di atasnya. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia.
Sementara, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak.
Tiga provinsi yang memiliki persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung. Angkanya di atas 37 persen. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.
Dampak bagi anak perempuan
Anak perempuan akan mengalami sejumlah hal dari pernikahan di usia dini. Pertama, tercurinya hak seorang anak. Hak-hak itu antara lain hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua. Berkaitan dengan hilangnya hak kesehatan, seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur. Risiko ini bisa mencapai lima kali lipatnya. Selanjutnya, seorang anak perempuan yang menikah akan mengalami sejumlah persoalan psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Di usia yang masih muda, anak-anak ini belum memiliki status dan kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka masih terkungkung untuk mengontrol diri sendiri. Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.
Dampak bagi anak-anak hasil pernikahan dini
Beberapa risiko juga mengancam anak-anak yang nantinya lahir dari hubungan kedua orangtuanya yang menikah di bawah umur. Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
Dampak di masyarakat
Sementara, dampak pernikahan dini juga akan terjadi di masyarakat, di antaranya langgengnya garis kemiskinan. Hal itu terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial. Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan.
1974 Tentang Perkawinan. Kasus tersebut menjadi salah satu contoh bahwa perkawinan anak masih menjadi masalah di Indonesia. Remaja lelaki masih berusia 15 tahun 10 bulan, sedangkan yang perempuan berusia 14 tahun 9 bulan. Meski sempat ditolak, pihak keluarga lalu mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama Bantaeng. Dispensasi itu membuat KUA tak memiliki alasan lagi untuk tidak memproses rencana pernikahan keduanya. Sehari setelahnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise melontarkan usulan untuk segera merevisi UU Perkawinan.
Hal itu disampaikan Yihana dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4/2018). Ia menyoroti pasal yang mengatur ketentuan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Menurut Yohana, ketentuan batas minimal usia harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak, sebagaimana yang sejak lama didesak oleh kalangan masyarakat sipil. “Tentang usia menikah dan status anak di luar kawin saya minta perhatian dari Komisi VIII,” ujar Yohana. Menurut Yohana, pihaknya menyadari bahwa fenomena perkawinan anak terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan.
Masih Tinggikah Pernikahan Dini di Indonesia?
Secara umum, persentase perempuan yang pernah kawin sebelum usia 18 tahun mengalami penurunan. Dalam rentang waktu 2013-2015 terjadi penurunan sebanyak 5,58 persen. Data susenas 2015 menunjukkan bawah masih banyak provinsi di Indonesia yang memiliki persentase perkawinan usia anak lebih tinggi dibandingkan angka nasional 22,82 persen. Dua provinsi dengan persentase perkawinan usia anak paling tinggi yaitu Sulawesi Barat (34,22%) dan Kalimantan Selatan (33,68%). Sementara, Kepulauan Riau dan Provinsi Aceh memiliki persentase perkawinan usia anak paling rendah dengan persentase masing-masing 11,73 persen dan 12,40 persen.