Yayasan Kesehatan Perempuan dan Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang fokus pada pemenuhan HKSR Komprehensif melakukan audiensi untuk berupaya membangun komunikasi dengan perwakilan Kemenkes RI untuk mendapatkan informasi terkini terkait pembahasan pasal-pasal di dalam PP dan bisa memberikan dukungan atas Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
Audiensi dilakukan pada hari Senin, 22 Juli 2024 untuk dapat memberikan concern kami atas pasal-pasal pada kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) yang didasari atas pengalaman jaringan OMS sebagai pendamping di komunitas.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Kesehatan No.17 tahun 2023 menjadi momentum pembuka bagi perwujudan transformasi sistem Kesehatan di Indonesia. Undang-undang ini penting untuk terus dikawal karena memuat perbaikan pada 10 aspek pelayanan Kesehatan, salah satunya penguatan upaya Kesehatan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif rehabilitatif, dan/atau paliatif berdasarkan siklus hidup. Selain itu, UU Kesehatan juga telah mencanangkan penyusunan Rencana Induk Bidang Kesehatan yang akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah hingga pusat.
Visi transformasi sistem Kesehatan tersebut tentunya tidak akan berjalan dengan optimal jika tidak didukung oleh turunan aturan yang mencerminkan prinsip-prinsip penting dalam UU Kesehatan. Setelah 1 tahun disahkan, pembahasan turunan UU Kesehatan terkesan lamban dan tertutup. Pelibatan bermakna dari publik luas termasuk masyarakat sipil juga tidak terakomodasi dengan optimal. Padahal penting untuk menjamin bahwa masyarakat sipil terpenuhi haknya untuk didengarkan, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapatkan ruang yang berkualitas untuk menyampaikan opini berdasarkan bukti dan pengalaman di kelompok akar rumput. Minimnya pelibatan masyarakat sipil akan menjauhkan implementasi layanan yang inklusif dan berkeadilan.
Mengacu pada draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan versi bulan Mei 2024, koalisi masyarakat sipil untuk keadilan Kesehatan mencatat beberapa isu di dalam RPP Kesehatan yang belum mencerminkan visi pelayanan Kesehatan yang berkeadilan, di antaranya:
- Terancamnya hak pemulihan Kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan korban perkosaan karena adanya syarat dan pembatasan pada layanan aborsi aman. Syarat ‘surat keterangan penyidik’ yang dimuat berpotensi memberatkan posisi korban. Dalam banyak pengalaman penanganan korban, penyidik selalu terkesan terkendala dalam mengeluarkan surat keterangan bahwa korban merupakan korban perkosaan dan kekerasan seksual. Adanya syarat tersebut juga mengingkari semangat dan realitas penanganan kasus, mengingat tidak semua korban kekerasan seksual dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
- Penghilangan otonomi individu dalam akses Kesehatan seksual dan reproduksi masih dominan dalam penyusunan pasal-pasal turunannya. Adanya tim pertimbangan dan dokter yang menjadi syarat utama mengakses layanan juga berpotensi menambah panjang alur akses layanan aborsi. Kuatnya pembatasan atas pengambilan keputusan yang berpotensi menghilangkan otonomi korban atau orang dengan disabilitas ditunjukkan dengan adanya syarat persetujuan yang berlapis. Dalam perspektif hak, keputusan individu yang memiliki pengalaman atas kehamilan tersebut harus menjadi yang utama.
- Dalam upaya melindungi kelompok rentan, UU Kesehatan No 17 tahun 2023 telah menunjukkan kemajuan signifikan seperti tercantum di pasal 28 yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan yang mencakup masyarakat rentan dan bersifat inklusif nondiskriminatif. Lebih jauh lagi, UU Kesehatan menegaskan bahwa kelompok rentan juga mencakup individu yang tersisihkan secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Kemajuan ini justru dipatahkan dalam RPP Kesehatan yang kembali meletakkan orientasi seksual tertentu sebagai disfungsi dan gangguan (pasal 114). RPP ini akan memperparah stigma dan diskriminasi yang sudah menahun dialami kelompok LGBTIQ di sektor kesehatan, dan semakin menjauhkan Indonesia dari semangat menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif dan inklusif.
- Dalam pemenuhan hak Kesehatan bagi orang dengan disabilitas, pasal-pasal di dalam RPP masih disusun dengan sangat stigmatik dan diskriminatif serta ableist kepada Orang dengan Disabilitas. Masih kuatnya perspektif yang melihat bahwa kedisabilitasan adalah suatu penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan. Pendekatan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi tentang Ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mengamanatkan bahwa pendekatan terhadap disabilitas haruslah berperspektif Hak Asasi Manusia.