Blog

Pembangunan Anak Muda dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Usia Anak

Penyebaran informasi tentang risiko pernikahan usia anak sepertinya sudah sering kita temui di berbagai media. Namun hal tersebut seakan tidak dihiraukan oleh sebagian masyarakat yang hingga kini masih ada saja yang tetap melakukannya bahkan dengan bangga menyebarkannya melalui media sosial.

Menurut data Susenas, BPS (2008-2017) 1 dari 9 (11%) perempuan 20 – 24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Dan pada tahun 2018, 5,82% anak usia 7 – 17 tahun yang tidak bersekolah dengan alasan menikah.

Hal ini sangat kita sayangkan, bahkan bagi seorang survivor pernikahan anak seperti Ibu Darma. Ia mengutarakan hal ini di acara Thursday Talk yang diadakan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), ia sangat berharap anak-anak Indonesia tidak mengalami hal seperti dirinya

Ibu Darma yang berdomisili di Pulau Kulambing, Kapulauan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan menikah pada usia 14 tahun karena dipaksa oleh orangtuanya. Pada umur 16 tahun ia merasakan proses persalinan yang sangat sulit hingga akhirnya merenggut jiwa buah hati pertamanya.

Ia masih merasa “minder” keluar rumah karena malu dengan teman-temannya dulu yang sekarang banyak yang berhasil meraih cita-cita. Butuh proses lama untuk membangun kepercayaan diri, hingga ia banyak beraktifitas di sekolah perempuan. Kini Ibu Darma berupaya mencegah pernikahan anak kepada anak-anak di areanya dan memberikan advokasi kepada pemerintah setempat agar ikut mendukung mencegah terjadinya pernikahan anak.

Memang banyak faktor penyebab pernikahan anak dan sangat bervariasi di tiap daerah, salah satunya adalah faktor ketidak harmonisan keluarga. Faktor ini juga yang dilihat oleh Mutya Gustina seorang pendamping anak di desa Tarusa pulau Sumbawa, NTB. Anak-anak perempuan dari “broken home” akan mencari “kasih sayang” yang dengan pasangannya yang justru menjerumuskan mereka kepada perilaku berisiko yang berujung kepada kehamilan tidak diinginkan KTD).

Mutya mengatakan kurangnya informasi dan dampingan kepada anak, khususnya anak perempuan yang memiliki masalah dengan keluarga untuk meningkatkan kemandirian dengan terus memberikan semangat untuk melanjutkan pendidikan walau ada masalah dalam keluarganya. Hal inilah yang menjadikan masih banyak anak di daerah dampingannya terpaksa melakukan pernikahan anak.

Kebutuhan akan wadah seperti organisasi, komunitas atau forum anak dan remaja di daerah-daerah sangat dirasa perlu untuk “Membangun Anak Muda”, dimana anak dan remaja bisa berkumpul, mendapat dampingan dan informasi, khususnya informasi kesehatan reproduksi yang benar dan bisa mengekpresikan kreatifitas yang positif.

Menurut R0udhotul Esa yang aktif juga di forum anak Kabupaten Ponorogo mengatakan, walau sudah banyak kelompok anak muda, komunitas atau forum anak, namun ada keterbatasan jangkauan kepada anak-anak yang memerlukan dampingan. Banyak komunitas anak muda ini ada hanya di area kota dan kabupaten kota. Padahal komunitas atau forum semacam ini juga diperlukan di daerah-daerah pedesaan bahkan daerah terpencil. Imbasnya tidak sedikit anak muda di luar daerah kota yang terjebak ke pergaulan yang berisiko.

Kurangnya wadah kegiatan untuk mengembangkan kreatifitas, berbagi informasi dan melakukan kegiatan yang postif juga dirasakan oleh Fitri yang hidup jauh dari perkotaan yaitu Pulau Sabutu, Kepulauan Pangkep Sulawesi Selatan. Padahal hal ini dibutuhkan guna anak muda bisa berperan aktif hingga tidak “ikut-ikutan” ke pergaulan yang birisiko.

Pemerintah sendiri sudah berupaya maksimal dalam menyikapi kebutuhan ini. Menurut Ibu Woro Srihastu, Sulistyaningrum selaku Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, dimana penguatan peran dan kapasitas peergroup merupakan salah satu intervensi kunci optimalisasi kapasitas anak dalam 5 strategi nasional pencegahan pernikahan anak.

5 strategi itu adalah optimalisasi kapasitas anak, membangun lingkungan yang mendukung pencegahan pernikakan anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, juga penguatan koordinasi pemangku kebijakan.

Seluruh pendekatan menargetkan intervensi kunci awal yang mendukung penguatan peran orang tua, masyarakat, dan lembaga dalam mencegah perkawinan anak dengan tetap memperhatikan prinsip kewilayahan yang terintegrasi agar anak Indonesia dapat bertumbuh kembang secara aksimal menjadi SDM yang unggul serta berdaya saing dengan adanya
jaminan terhadap hak serta akses layanan dasar dan bebas dari risiko pernikahan anak tegas Ibu Woro.

Ibu Woro menambahkan bahwa pembangunan anak muda masuk dalam Rencana Pembanguanan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dimana dalam rencana tersebut menempatkan pemenuhan hak dan perlindungan anak, peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan dan perlindungan perempuan.

Sebagai pendamping anak di daerah, Fitri juga mengusulkan agar anak muda harus bisa berperan aktif dalam membantu program yang sudah dijalankan pemerintah, terutama dalam pencegahan pernikahan anak. Seperti ikut dalam Musyawaran Perencanaan Pembangunan (Musrembang) di daerahnya masing-masing. Diakui Fotri, keikutsertaan anak muda ini kadang masih mendapat banyak tantangan seperti masih dianggap remeh “belum tau apa-apa” karena usia yang masih belum cukup.

Namun ia tidak patah semangat. Sekarang Fitri aktif dalam mengkampanyekan program SDGs dan pencegahan pernikahan anak melalui kegiatan teater. Ia dan teman-teman sering diundang untuk memntaskan teater terutama di kegiatan pemerintah daerah dan selalu mengangkat tema pencegahan pernikahan anak di tiap aksi teaternya dengan menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa bugis agar mampu dipahami oleh warga lokal.

Semoga saja dengan dukungan pemerintah dan masyarakat untuk memfasilitasi anak muda melalui wadah organisasi dan peraturan yang ramah anak akan menguatkan upaya pencegahan pernikahan anak di Indonesia.