Artikel

Topik Kesehatan Reproduksi Masih Tabu Dibicarakan Remaja

Remaja memerlukan informasi dan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi dan kesehatan mental yang komprehensif.

Remaja berisiko mengalami masalah kesehatan reproduksi dan kesehatan mental. Namun, hingga kini pengetahuan dan pengalaman remaja mengenai hal tersebut masih sangat minim. Selama ini, mereka memahami kesehatan reproduksi sebatas yang berkaitan dengan fisik, seperti pubertas dan menstruasi.

Sementara sumber informasi kesehatan reproduksi (kespro) dan kesehatan mental yang selama ini diakses remaja melalui media digital belum inklusif dan belum didukung pendampingan profesional. Di sisi lain, remaja juga belum mengetahui, mengakses, dan terlibat dalam program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).

Situasi tersebut setidaknya tergambar dari hasil Penelitian tentang Persepsi Remaja mengenai Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Mental oleh Kelompok Peneliti Muda. Kelompok ini beranggotakan Forum Anak Nasional (FAN) dan Children & Youth Advisory Network (CYAN)-sebuah jaringan anak-anak usia 15-24 tahun hasil inisiasi Save the Children Indonesia.

Penelitian tersebut merupakan kolaborasi Dewan Penasihat Anak dan Orang Muda, Save the Children, Forum Anak Nasional, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA). Penelitian dilakukan melalui survei daring kepada 132 partisipan laki-laki dan 311 partisipan perempuan berusia 14-24 tahun dari 31 provinsi, kemudian dilanjutkan wawancara.

”Penelitian terkait kesehatan reproduksi dan kesehatan mental dilakukan karena ketidaksiapan remaja menghadapi perubahan fisik, emosional, dan perilaku, yang meningkatkan risiko remaja mengalami masalah kesehatan reproduksi dan kesehatan mental,” ujar Putri, anggota Kelompok Peneliti Muda pada ”Workshop Diseminasi Hasil Penelitian Orang Muda Persepsi Remaja mengenai Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Jiwa”, Senin (2/10/2023).

Berdasarkan data Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 34,9 persen (15,5 juta) remaja mengalami masalah kesehatan mental, tetapi hanya 2,6 persen yang mengakses layanan konseling.

Minimnya pengetahuan kespro kian membuat remaja rentan terkena penyakit menular seksual (PMS), HIV, kekerasan seksual, serta kehamilan remaja yang tidak diinginkan. Padahal, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengamanatkan kespro dan kesehatan mental remaja sebagai salah satu bentuk upaya kesehatan remaja.

Dari penelitian Kelompok Peneliti Muda itu diketahui, jarang sekali isu tentang kespro dan kesehatan mental dibahas di ruang publik yang aman. Masalah ini hanya dibahas di ruang privat karena banyak anak muda menganggap hal ini tabu. Bahkan, banyak remaja untuk sekadar mengakses informasi dan layanan kespro harus melewati jalan yang panjang.

Sejumlah responden penelitian menyampaikan bagaimana mereka tumbuh di lingkungan yang asing, tidak tahu mencari informasi ke mana saat menghadapi pengalaman pertama terkait kespro. Misalnya, saat remaja perempuan mengalami menstruasi pertama kali, tidak semua melewati fase tersebut dengan didampingi orang dewasa.

Di kalangan remaja perempuan, kespro merupakan topik yang masih dianggap tabu untuk dibicarakan. ”Ternyata, remaja perempuan lebih banyak pengalaman terkait kespro daripada laki-laki,” ujar Salma, anggota Kelompok Peneliti Muda lainnya.

Sementara remaja laki-laki malah sungkan saat menjelaskannya. Pemahaman dan pengalaman kespro lebih terbatas dibandingkan perempuan.

Pembahasan kespro lebih menitikberatkan pada pubertas dan menstruasi. Bagi remaja laki-laki, soal infeksi menular seksual (IMS) juga menjadi fokus perbincangan.

Studi tersebut juga menemukan, pengetahuan tentang kespro yang paling banyak diketahui remaja adalah informasi terkait pubertas (86 persen) dan sistem reproduksi manusia (83 persen).

Padahal, selain dua hal itu, ada beberapa topik lain yang berkaitan dengan kespro, seperti infeksi menular seksual, HIV, dan AIDS; kehamilan remaja; seksualitas; kesetaraan laki-laki dan perempuan; dan narkotika dan zat adiktif.

Salah satu kegiatan pendidikan kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh peserta pelatihan kespro oleh YKP dalam rangka pencegahan perkawinan anak

Faktor eksternal

Minimnya pemahaman remaja mengenai kespro tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor terkait keluarga, pertemanan, dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut seperti kurangnya pemahaman dan informasi mengenai kespro dari keluarga serta kemiskinan dalam keluarga. Lingkungan pertemanan yang tidak sehat juga memunculkan perilaku berisiko pada remaja yang dapat menyebabkan gangguan kespro.

Faktor pendidikan dan masyarakat juga ikut berkontribusi terhadap rendahnya pemahaman kespro pada remaja. Misalnya, nilai, norma, ataupun kepercayaan dalam masyarakat yang dapat menambah risiko remaja mengalami gangguan kespro.

Selain itu, kurangnya kapasitas tenaga pendidik dalam memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi di sekolah juga turut memengaruhi pengetahuan remaja soal kespro.

Berkaitan dengan kesehatan mental, penelitian ini pun menunjukkan perbedaan pemahaman antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja laki-laki mendefinisikan kesehatan mental sebatas gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan bipolar.

Sementara remaja perempuan mendefinisikan kesehatan mental secara luas seperti menjaga kualitas mental, cara merespons permasalahan, serta dampaknya bagi kesehatan fisik.

Berbeda dengan kesehatan reproduksi, remaja laki-laki maupun remaja perempuan lebih terbuka menceritakan pengalamannya saat membahas kesehatan mental. Namun, dalam hal mencari bantuan untuk mendukung kesehatan mental, pemahaman remaja masih sangat rendah.

Studi ini mengungkap, cara mencari bantuan untuk mendukung kesehatan mental menjadi topik yang paling rendah dipahami oleh responden. Hanya 54 persen responden yang mengetahui cara mengakses layanan dukungan kesehatan mental.

”Artinya, hampir setengah dari remaja yang menjadi responden tidak tahu bagaimana cara mencari bantuan jika terjadi gangguan mental. ini sungguh sangat memprihatinkan dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Salma.

Kesimpulannya, saat ini remaja belum memiliki pengetahuan komprehensif tentang kespro dan kesehatan mental sehingga mereka rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Para responden berharap Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) menyediakan psikolog yang mampu membantu mereka mengatasi masalahnya. Isu kespro harus lebih disosialisasikan dan diperkenalkan kepada remaja hingga ke sekolah-sekolah.

Manajer Advokasi Save the Children Indonesia Andri Yoga Utami menuturkan, penelitian oleh Kelompok Peneliti Muda tersebut berawal dari kegelisahan mereka dalam isu kespro dan juga kesehatan mental. ”Jadi, banyak kasus atau data yang kita peroleh terkait dengan kehamilan remaja, pernikahan dini, dan berbagai kasus lainnya. Kemudian fakta bagaimana remaja yang mengalami pubertas sulit mendapatkan akses informasi yang akurat,” ujar Andri.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan, hasil penelitian tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan untuk meningkatkan akses layanan dan informasi kesehatan reproduksi dan kesehatan mental bagi remaja.

Sumber: Kompas.id
Oleh: SONYA HELLEN SINOMBOR