Kasus kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter, telah menjadi masalah serius dan marak terjadi di Indonesia dan beberapa waktu yang lalu kembali terjadi.
Komnas Perempuan mencatat bahwa dari 15 kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan selama 2020-2024, sekitar 9 kasus melibatkan dokter sebagai pelaku, dengan jenis kekerasan mulai dari pelecehan hingga pemerkosaan. Selain dokter, terapis dan perawat juga terlibat dalam beberapa kasus lainnya.
Faktor yang memperparah adalah adanya “asimetris informasi” antara dokter dan pasien, yang membuat pasien sulit melawan atau melapor. Selain itu, trauma dan ketakutan korban juga menjadi penghambat pelaporan kasus
Terjadinya kasus kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan dikarenakan:
- Ketimpangan relasi kuasa: Dokter menempati posisi yang sangat dihormati dan memiliki otoritas tinggi dalam masyarakat serta institusi kesehatan. Posisi ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara dokter dan pasien, yang dapat disalahgunakan oleh sebagian dokter untuk melakukan pelecehan atau kekerasan seksual. Pasien yang membutuhkan perawatan medis sering kali berada dalam posisi rentan dan kesulitan untuk menolak atau melaporkan karena ketergantungan mereka pada dokter tersebut.
- Pengawasan dan penegakan etika yang lemah: Meskipun terdapat kode etik profesi dokter yang mengatur perilaku tenaga medis, pengawasan terhadap penerapan kode etik ini masih belum memadai. Kasus kekerasan seksual yang terjadi menunjukkan bahwa sanksi hukum dan administratif yang ada belum cukup efektif dalam mencegah pelanggaran. Oleh karena itu, institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi, dan rumah sakit perlu meningkatkan pengawasan serta penegakan kode etik secara lebih serius.
- Tidak adanya aturan terkait Penanganan Kekerasan Seksual di internal institusi Kesehatan (Safeguarding): Aturan penanganan kekerasan seksual sangat penting dimiliki oleh sebuah institusi termasuk fasilitas pelayanan kesehatan karena melindungi hak, kesejahteraan, dan martabat semua pihak yang terlibat dalam kerja-kerja institusi termasuk pasien dan kelompok rentan, mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan, menjaga reputasi institusi, serta menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua pihak yang terlibat. Implementasi kebijakan safeguarding yang efektif adalah bagian integral dari tata kelola organisasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
- Dorongan seksual yang tidak terkendali: Beberapa pelaku kekerasan seksual diduga tidak mampu mengendalikan dorongan seksualnya, terutama ketika ada kesempatan seperti ruang tertutup dan sepi yang memudahkan terjadinya pelecehan. Faktor ini diperburuk oleh kurangnya kesadaran dan kontrol diri dari pelaku.
- Aspek struktural dan budaya dalam dunia medis: Kekerasan seksual oleh dokter bukan hanya persoalan individu, melainkan juga masalah sistemik yang berkaitan dengan budaya dan struktur institusi kedokteran. Reformasi sistem pendidikan dokter dan lingkungan kerja medis sangat diperlukan untuk menanamkan penghormatan terhadap hak tubuh pasien serta menghentikan pembelaan atau penyangkalan terhadap pelaku kekerasan seksual di kalangan tenaga medis.
- Minimnya pelaporan dan dukungan bagi korban: Banyak korban kekerasan seksual di fasilitas kesehatan enggan melapor karena trauma, ketakutan, dan kekhawatiran akan stigma sosial. Kondisi ini menyebabkan kasus sulit terungkap dan pelaku sulit ditindak secara tegas. Oleh sebab itu, perlindungan dan dukungan psikologis bagi korban sangat penting agar mereka merasa aman untuk melaporkan kejadian tersebut.
Untuk itu, penting bagi semua pihak termasuk pasien, memahami hak dan kewajiban pasien saat menerima layanan kesehatan. Hak dan kewajiban ini tertera juga dalam kebijakan yang telah dibuat pemerintah, seperti Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien serta Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana tertulis pasien berhak mendapatkan informasi yang lengkap tentang prosedur medis yang akan dijalani, termasuk risiko dan manfaatnya. Pasien juga berhak untuk didampingi oleh orang yang dipercaya selama pemeriksaan atau tindakan medis, serta berhak menolak tindakan medis yang tidak sesuai dengan keinginan mereka..
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan merupakan masalah yang serius dan memerlukan pengawasan ketat, pendidikan etika profesi kedokteran yang lebih baik agar ruang pelayanan kesehatan menjadi aman dan bermartabat.
Hal ini juga perlu didukung dengan sistem pelaporan dan perlindungan korban yang efektif agar kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis dapat terjaga.
PENTING DIKETAHUI
Hak Pasien
Rumah sakit berkewajiban untuk berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan menghormati dan melindungi hak pasien. Hak pasien adalah sebagai berikut :
- Memperoleh informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit termasuk tata tertib, peraturan yang berlaku serta hak dan kewajiban pasien.
- Memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi; bermutu serta ekfektif dan efisien.
- Memperoleh informasi terkait kesehatannya, termasuk diagnosis, tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi, prognosis dan perkiraan biaya.
- Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan dan peraturan yang berlaku.
- Memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan kedokteran.
- Memperoleh second opinion atau konsultasi tentang penyakit kepada dokter lain.
- Memperoleh keamanan dan keselamatan selama perawatan di rumah sakit.
- Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya.
- Mendapatkan pendampingan dalam keadaan kritis.
- Dapat menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan serta menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
- Mengajukan pengaduan, mengeluhkan usul, saran, perbaikan, menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar.
Kewajiban Pasien
Terkadang peraturan di setiap rumah sakit dapat berbeda, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu,namun secara umum, dalam menerima pelayanan dari rumah sakit, pasien mempunyai kewajiban:
- Mematuhi peraturan yang berlaku di rumah sakit.
- Menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggung jawab.
- Menghormati hak pasien lain, pengunjung dan hak tenaga kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit.
- Memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya.
- Memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang dimilikinya.
- Mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dan disetujui oleh pasien yang bersangkutan.
- Menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya jika menolak rencana terapi yang direkomendasikan.
- Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Apabila pasien dan atau keluarga merasa bingung atau tidak memahaminya, sangat direkomendasikan untuk bertanya pada penyedia layanan kesehatan sehingga mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya.
Rumah sakit memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban pasien, hal ini dapat dilakukan secara masif dengan publikasi dan distribusi menggunakan brosur, poster, banner dan lain sebagainya baik secara langsung maupun menggunakan sosial media.