Empat September diperingati sebagai Hari Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Sejak pertama kali di inisiasi oleh “World Association for Sexual Health” di tahun 2010 memanggil semua organasasi di dunia untuk memperingati “World Sexual Health Day” (WHSD) setiap tanggal 4 September setiap tahunnya.
Hal ini dilakukan dalam upaya mempromosikan kesadaran sosial yang lebih tinggi terkait kesehatan seksual di seluruh dunia. Sejak saat lebih dari 60 negara mengikuti peringatan ini dengan cara bermacam-macam, dari diskusi grup sampai ke eksibisi seni.
Tema tahun ini adalah kesehatan seksual di dunia digital dan motonya adalah “Turn it on: Sexual health in a digital world” . Dilansir dari worldsexualhealth.net alasan pemilihan motto “Turn it on” adalah pesan penyadaran akan kesehatan seksual dan hak-hak seksual dan penegakannya, karena banyak juga pelanggaran dan pelanggaran hak-hak seksual di ruang digital.
Tema ini sengaja diambil sebagai bentuk pesan kepada masyarakat yang telah menggunakan dunia sosial dalam kehidupan sehari-hari mereka bahwa pelanggaran hak-hak seksual yang berkaitan langsung dengan kesehatan seksual juga kerap terjadi di dunia maya.
Apa itu Kesehatan Seksual
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan seksual adalah kondisi di mana fisik, mental, dan keadaan sosial dalam hubungan ke seksualitas. Ini membutuhkan pendekatan yang positif dan menghormati seksualitas dan hubungan seksual. Jadi seseorang bisa dikatakan sehat secara seksual jika dirinya bisa memilih pasangan seksualnya, merasakan kenikmatan seksual, dan terbebas dari risiko kehamilan yang tidak direncanakan dan infeksi menular seksual, dan bebas dari segala paksaan dan kekerasan seksual.
Seksualitas adalah aspek kehidupan yang alamiah dan sangat berharga, bagian yang sangat penting dan mendasar dari kehidupan manusia. Bagi manusia untuk mencapai standar kesehatan yang paling tinggi, manusia harus terlebih dahulu dikuatkan untuk mengetahui pilihan kehidupan reproduksi dan seksualnya; mereka harus merasa nyaman dan aman dalam mengekspresikan identitas seksualnya.
Hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) adalah bagian penting dari kesehatan dan kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Hal ini adalah hak dasar manusia yang masing-masing individu dapat memutuskan, untuk kapan dan dengan siapa mereka melakukan seks, dan untuk kapan dan dengan siapa mereka memiliki anak – bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan.
Kesehatan seksual dan reproduksi masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak dewasa muda di Indonesia tidak menerima pendidikan kespro yang baik. Masih banyak yang oercaya jika kita tidak membicarakannya, maka tidak seorangpun yang akan melakukannya, tetapi sayangnya kenyataan tidak seperti itu. beberapa data yang menggambarkan masalah ini adalah:
- Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 5% pelajar (12-19 tahun) sudah melakukan hubungan seksual (WHO, 2015). Dari jumlah tersebut, 83% sudah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 14 tahun.
- Hanya 34% yang dilaporkan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual yang terakhir, yang mana dikatakan sebagai perilaku seksual yang beresiko.
- Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan angka kehamilan tidak diinginkan yang tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2017).
Kurangnya akses dan edukasi menyebabkan banyak orang Indonesia menggunakan sumber-sumber yang tidak bisa dipercaya. Ini merupakan masalah besar di Indonesia karena memicu banyak kesalahpahaman dan perilaku seksual yang beresiko. Padahal dengan mendapat pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi akan membantu untuk mendorong orang-orang terutama remaja untuk melindungi diri mereka sendiri dan pasangan mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan memahami consent hingga bisa terhindar dari kekerasan seksual.
Ancaman Kesehatan Seksual DI Masa Pandemi
Tema yang diangkat pada 2021 ini seperti dilansir dari situs resmi World Association for Sexual Health yaitu ‘Turn it on: Sexual health in a digital world’.
Di era ini, masyarakat hampir tak bisa lepas dari teknologi. Perkembangan teknologi melaju pesat bahkan seluruh negara di dunia telah menggunakan internet sebagai bagian kehidupan yang tak bisa dilepaskan. Badan kesehatan dunia (WHO) seperti dilansir dari Center For Disease Control and Prevention mengatakan kesehatan seksual tak hanya berkaitan dengan fisik tetapi menyangkut emosi, mental hingga hubungan sosial seseorang.
Situasi pandemi ini yang telah memaksa banyak orang lebih banyak beraktifitas sekolah/kerja secara online demi mencegah penularan virus. Keadaan ini telah menghadapkan masyarakat khususnya perempuan dan anak perempuan menjadi rentan menjadi korban pelanggaran dan pelanggaran hak-hak di dunia maya yang mengancam kesehatan seksualnya.
Pelanggaran hak umumnya dalam bentuk kekerasan seperti serangan terhadap tubuh, seksualitas, dan identitas gender seseorang yang tidak hanya di kehidupan sehari-hari namun juga terjadi di ruang maya/digital khususnya di media sosial, yang biasa disebut kekerasan gender berbasis online (KGBO). Bahkan tak sedikit pelecehan seksual dan cyber bullying dalam konteks seksual di dunia digital juga kerap terjadi.
Sejak Januari hingga Juli 2020 terjadi peningkatan kekerasan pada anak yang didominasi oleh kekerasan seksual. Data tersebut berdasar pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Jika dirincikan, angkanya mencapai 2.556 kasus (Mashabi, 2020).
Kekerasan berbasis gender telah meningkat sampai 63%, sedangkan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) naik hampir 300% (Tanjung, 2021). Data ini juga didukung oleh Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021, yang menyebutkan pada masa pandemi COVID-19, angka KBGO mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat.
Dampak dari KBGO tetap tidak lebih ringan dibandingkan kekerasan seksual yang terjadi di dunia nyata (Prameswari, dkk., 2021). Dalam Buku Panduan KBGO yang disusun oleh SAFENet, dampak dari KBGO dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, dan sensor diri. Secara psikologis, orang yang menjadi korban dari KBGO akan merasa cemas, takut, atau bahkan mengalami depresi.
Para penyintas KBGO juga cenderung menarik diri dari kehidupan sosial, termasuk dengan teman dan keluarga mereka sendiri. Hal ini disebabkan oleh munculnya rasa malu atas apa yang telah terjadi pada dirinya, terutama pada mereka yang foto atau videonya tersebar luar tanpa persetujuan dari mereka. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Hanson (2017), bahwa kekerasan seksual secara online dapat berdampak pada depresi, perasaan putus asa, malu, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan menghindari hubungan dengan orang lain pada korban.
Badan kesehatan dunia (WHO) seperti dilansir dari Center For Disease Control and Prevention mengatakan kesehatan seksual tak hanya berkaitan dengan fisik tetapi menyangkut emosi, mental hingga hubungan sosial seseorang. Hal inilah yang membuat perlu juga memperhatikan dan mengupayakan pencegahan dampak kekerasan seksual dalam pencapaian kekerasan seksual. Oleh karena itu, penting menjaga kesehatan seksual karena berbagai penyakit bisa timbul jika hal ini tak dijaga secara maksimal.
Perlu kerjasama dan kebijakan maksimal untuk membuka mata akan pentingnya pembicaraan dan pemenuhan hak-hak berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi tidak hanya di dunia digital namun di ruang publik, agar hal ini tidak hanya sekadar menjadi tema yang diangkat dalam peringatan hari kesehatan seksual sedunia namun menjadi “kebiasaan baru” masyarakat untuk dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan khususnya kesehatan seksual yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan.