Artikel

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025

Regulasi Berbahaya yang Memukul Mundur Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi  Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17  Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan  layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif.  Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan,  ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah  tertinggal, terpencil, dan perbatasan.  

Proses Penyusunan yang Tidak Partisipatif 

Sejak awal dalam proses penyusunan PMK ini (dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang  Kesehatan) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak. Kementerian Kesehatan  cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah  tubuh tiap individu. Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang  cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk  menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial. Proses penyusunan aturan ini  menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil.  Kementerian Kesehatan nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya  sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang  mempengaruhi hidup mereka. Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi  memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.  

Hilangnya Otonomi Tubuh Perempuan Disabilitas 

Hari ini kami kecewa mendapati PMK No.02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam  menempatkan Orang Dengan Disabilitas. Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif  ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini  justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas terutama Disabilitas Mental dan  Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil  keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..”. Ketentuan ini merampas hak penyandang  disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi. Mestinya  daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari Orang Dengan Disabilitas, negara seharusnya  menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan  dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak  tersebut.  

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini  seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun  2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus  “diperbaiki” harus ditinggalkan, dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based approach yang  menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan  atas hidup mereka sendiri.  

1https://lbhapik.or.id/siaran-pers-masyarakat-sipil-mendesak-pemenuhan-hak-atas-kesehatan-yang-inklusif-adil-dan-setara-dalam-seluruh-proses penyusunan-kebijakan-turunan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/

Diskriminasi terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender 

Permenkes ini kembali menempatkan orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan (Pasal 52). Ini  sangat bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah mengakui dan melindungi individu yang mengalami  diskriminasi secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini juga berlawanan  dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang secara tegas menyatakan  bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.  

Lebih dari itu, Permenkes ini secara eksplisit mempromosikan upaya-upaya korektif paksa terhadap  orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini (Pasal 54) dan upaya rehabilitatif (Pasal  56). Padahal, upaya korektif yang dulu dikenal dengan istilah “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti  Penyiksaan PBB sebagai tindak penyiksaan yang harus dihentikan. Indonesia telah berulang kali ditegur PBB  dan didorong untuk mencabut kebijakan diskriminatif dan memberikan perlindungan yang memadai bagi  kelompok rentan. Alih-alih memberikan perlindungan, Negara semakin melanggar mandat dan komitmennya  untuk menegakkan Hak Asasi Manusia lewat Permenkes yang menambah daftar panjang kebijakan  diskriminatif. Tenaga medis yang seharusnya bebas dari tindak diskriminasi dan mengutamakan keselamatan  pasien justru diberi kuasa penuh oleh Negara untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan. 

Dampak dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Permenkes ini jelas memperburuk terwujudnya  pemenuhan hak dasar atas kesehatan fisik dan mental kelompok rentan, secara khusus kelompok LGBTIQ,  yang selama ini sudah sangat kesulitan mengakses layanan kesehatan karena stigma sebagai  gangguan/kelainan seksual. Upaya korektif terhadap orientasi seksual ini memenuhi unsur-unsur penyiksaan2,  yang diantaranya adalah menimbulkan penderitaan fisik dan mental luar biasa yang berdampak pada  kehilangan keberhargaan diri dan trauma berkepanjangan; serta dilakukan untuk tujuan tertentu – berdasarkan keyakinan keliru bahwa orientasi seksual adalah gangguan sehingga upaya korektif bertujuan  untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya. Melalui Permenkes ini, unsur-unsur penyiksaan berikutnya  terpenuhi, yakni Negara secara sengaja melakukan serta menyetujui upaya korektif melalui pejabat-pejabat  yang berwenang, dalam hal ini tenaga medis, kesehatan, maupun institusi layanan kesehatan. Dengan  memberlakukan kebijakan yang menegaskan orientasi seksual sebagai gangguan yang perlu ‘dikoreksi’,  negara tidak hanya mengabaikan hak warganya tetapi juga memperkuat sistem yang menyetujui,  menormalisasi serta melakukan penyiksaan. 

Pembatasan Akses Layanan Aborsi 

Dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat  alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif. Mekanisme ini mengabaikan pengalaman  perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi  untuk mengambil keputusan secara utuh. Aturan ini menyaratkan empat (4) surat yang harus diperoleh  secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi  menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban  perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebagai tambahan, bahkan  ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan  membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat  menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu, pelaporan pidana seharusnya dipisahkan dari hak  individu atas keputusan prokreasi. 

Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan  korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS No.12 Tahun 2022. Tim  pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu (1) tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak  sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis  terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak  semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan  tingkat lanjut.  

2Berdasarkan Pasal 1 UU. No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak  Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia 

Dalam hal situasi darurat medis, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan  medisnya sendiri.  

Tuntutan Kami 

Masyarakat Sipil telah mengajukan catatan kritis dalam proses advokasi sebelumnya terkait kebijakan  ini. Namun, hingga kini, peraturan yang dikeluarkan masih belum mencerminkan perlindungan bagi kelompok rentan dan korban. Oleh karena itu, kami kembali mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan regulasi yang efektif, berperspektif korban, dan tidak diskriminatif dengan: revisi terhadap Permenkes No. 02 Tahun 2025, khususnya dalam hal berikut:  

1. Merevisi Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025 dan melakukan perubahan di antaranya: 

  • Menghapus semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau  gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya; 
  • Menghapus Surat Keterangan Penyidik sebagai syarat administratif dalam layanan aborsi;
  • Menghapus Tim Pertimbangan dalam alur akses layanan aborsi, karena prosedur ini  menambah hambatan bagi korban dalam situasi darurat dan berisiko mengurangi  aksesibilitas layanan; 
  • Menghapus persetujuan suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis;
  • Menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa orang dengan disabilitas tidak cakap  mengambil keputusan, dan memastikan bahwa Individu Dengan Disabilitas berhak  memberikan persetujuan sendiri tanpa harus melalui wali/tenaga medis serta mendorong  penyediaan mekanisme supportive decision-making sebagai dukungan kepada Orang Dengan  Disabilitas untuk membuat keputusan; 
  • Menghapuskan segala bentuk perlukaan termasuk penghapusan upaya-upaya simbolis dalam  bagian P2GP  

2. Memastikan prinsip penyediaan layanan kesehatan yang inklusif, non-diskriminatif serta patuh pada  standar hak asasi manusia, termasuk rekomendasi WHO dan perjanjian HAM internasional yang  menegaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit. Dalam implementasinya,  sistem, budaya, dan infrastruktur layanan kesehatan harus mengakomodasi kebutuhan LGBTIQ dengan  cara yang bermartabat dan inklusif, serta melindungi kelompok LGBTIQ dari praktik berbahaya seperti  diskriminasi, penyiksaan berbentuk upaya korektif, dan kekerasan berbasis SOGIESC.  

3. Melakukan perluasan akses dan metode aborsi (tidak terbatas pada metode prosedural, tetapi juga  medikamentosa) di dalam kerangka task shifting untuk memastikan keterlibatan profesi lain seperti  bidan, apoteker, paramedis, sebagaimana diatur dalam KUHP 2023 dan mengacu pada panduan  termutakhir WHO terkait aborsi. Adanya perluasan akses dan metode ini adalah cara untuk memastikan  tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer dan mengakomodir  situasi keterbatasan layanan.  

4. Melibatkan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi. Untuk menjamin bahwa masyarakat  sipil, khususnya kelompok advokasi perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok LGBTIQ, terlibat  secara aktif dalam pemantauan implementasi regulasi kesehatan yang menyangkut hak dan perlindungan  mereka. Sekaligus mendorong penyedia layanan kesehatan untuk mengedepankan pendekatan berbasis  hak asasi manusia dalam penanganan korban kekerasan seksual, tanpa stigma atau diskriminasi. 

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi 

  1. Save All Women and Girls (SAWG)
  2. Yayasan Kesehatan Perempuan 
  3. Perhimpunan Jiwa Sehat 
  4. Samsara 
  5. Asosiasi LBH APIK Indonesia  
  6. Arus Pelangi  
  7. Qbukatabu  
  8. Institute for Criminal Justice Reform 
  9. PKBI Yogyakarta  
  10. Front Anti Kekerasan Maluku Utara  
  11. Woi Sulawesi Utara  
  12. Gerak 28 September 
  13. Transmen Indonesia 
  14. Koalisi Perempuan Indonesia 
  15. Marsinah.id 
  16. Alemu 
  17. LBH Masyarakat 
  18. Amerta Raksa Kayana 
  19. Komunitas Perempuan Bumi  
  20. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia  
  21. SIGAB Indonesia 
  22. Diksi Foundation  
  23. HWDI – Sulawesi Selatan 
  24. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo 
  25. Jakarta Feminist 
  26. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) 
  27. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) 
  28. OHANA 
  29. CIQAL  
  30. SAPDA 
  31. Feminis Themis 
  32. PPDI Kalimantan Timur 

Kontak person:  
Ika Ayu – 0818278587  
Nanda Dwinta – 081586602575  
Tama – 085234831703