Selaras dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, khususnya di Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa Anak adalah seorang yang belum berusia 19 tahun atau belum pernah kawin menurut peraturan perundang-undangan. Adapun Permohonan Dispensasi Kawin diberi batasan pengertian menjadi permohonan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Dilihat dari dua batasan pengertian tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang dan Perma ini dapat mengakhiri polemik yang pernah ada tentang berapa usia anak hingga batas menjadi dewasa untuk melangsungkan perbuatan hukum dalam bentuk perkawinan dan mendapatkan dispensasi pengadilan.
Kebijakan dispensasi kawin bukan berarti memberikan peluang seluas-luasnya kepada anak laki-laki dan perempuan di bawah usia 19 tahun yang memiliki keinginan untuk menikah. Dispensasi kawin dipahami sebagai pengecualian terhadap ketentuan batas usia untuk perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019. Untuk itu peran Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama menjadi aktor kunci dalam menyetujui permohonan dispensasi kawin yang diajukan. Putusan yang diambil harus mempertimbangkan alasan mendesak dan Hakim wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak dari calon mempelai yang bermaksud akan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan Anak memiliki dampak panjang yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Baik kesehatan fisik maupun mental. Seorang perempuan yang menikah pada usia anak akan menghadapi berbagai keterbatasan dan risiko. Misalnya, risiko hamil dan melahirkan pada usia anak atau usia yang sangat muda, keterbatasan pendidikan sehingga tidak dapat memperoleh penghasilan untuk berkontribusi kepada keluarga, keterbatasan merawat anak, memiliki sedikit suara dalam pengambilan keputusan dirumah tangga serta kurang mampu mengadvokasi diri mereka sendiri.
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA) bersinergi mengeluarkan buku saku bagi hakim untuk menambah wacana dan wawasan bagi kalangan intelektual dan praktisi, terutama bagi pemerhati perlindungan terhadap anak dan perempuan. Karya ini juga menambah bahan literatur di kalangan akademisi yang fokus mengkaji terkait hukum perkawinan dan perlindungan anak. Berbagai lembaga mengambil peran dalam penanganan perkawinan anak dimaksud termasuk peradilan agama yang berada dalam sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung. Peran peradilan agama tersebut menjadi sangat besar melalui kewenangannya menyelesaikan permohonan perkara dispensasi kawin.
Untuk itu sekaligus rangkaian memperingati HUT YKP ke 20 kami berencana menyelenggarakan talk show sekaligus peluncuran buku saku bagi Hakim Agama “Penerapan Asas Kepentingan Terbaik bagi Anak dalam Permohonan Dispensasi Kawin”.
Keynote Speech:
- Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI
- Bapak Hasto Wardoyo – Ketua BKKBN RI
Pembicara:
- Mardi Candra – Hakim Agama Mahkamah Agung RI
- Syamsul Aziz – Ketua Pengadilan Agama Kab. Bojonegoro
- Wendy Satria Pradana – Aktivis Muda Kab. Ponorogo
- Titin Murtafi’ah – Pendamping PA Kab. Bojonegoro
Moderator
Ririn Sefsani – Aktivis HAM & Perempuan