Artikel

Mengurai Problem Penanganan Stunting di Indonesia

Kasus stunting diprediksi meningkat selama pandemi. Kondisi tersebut mengancam generasi masa depan. Di lapangan problem stunting sulit diurai.

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak. Keadaan tersebut terjadi karena kurangnya asupan nutrisi.

Tren kasus stunting di Indonesia sepanjang satu dekade terakhir sebenarnya cukup menggembirakan. Dari tahun ke tahun, angka kejadian berhasil ditekan.

Riset kesehatan Dasar 2013, yang dilaporkan Badan Pusat Statistik, menunjukkan kasus stunting di Indonesia mencapai 37,8 persen dari total anak. Angkanya turun signifikan menjadi 30,8 persen di survei serupa yang diselenggarakan pada 2018.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar maksimal kasus stunting 20 persen di suatu negara. Jika kita merujuk data SSGI 2019 dengan 27 persen kasus stunting, artinya saat ini satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting.

Upaya penanganan stunting tampak berada di jalur yang benar. Sebab, Studi Status Gizi Indonesia tahun 2019 kembali menunjukkan penurunan kasus yang tajam. Temuan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI itu mendapati kasus stunting di Indonesia sebanyak 27,67 persen dari populasi balita.

Prediksi akan memburuknya situasi stunting pada 2021 diduga berhubungan erat dengan pandemi COVID-19. Begitu pandemi melanda Indonesia, sektor ekonomi ikut terpukul. Akibatnya, banyak orang yang kini kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat terhadap kebutuhan makanan bernutrisi yang memadai juga merosot.

Jika prediksi tersebut menjadi nyata, maka akan cukup mengkhawatirkan, karena gagal tumbuh karena kekurangan nutrisi pada anak punya dampak jangka pendek dan jangka panjang. Kondisi kekurangan nutrisi, pada jangka pendek, akan menurunkan daya tahan tubuh anak. Bukan tidak mungkin anak menjadi mudah sakit. Pada jangka panjang, stunting punya dimensi yang lebih kompleks. Tak cuma masalah kesehatan, kekurangan gizi pada masa kecil bisa berdampak pada aspek ekonomi. 

Menurut ahli kesehatan anak, Intelektualitas orang yang pernah stunting akan lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang yang tidak stunting. Sederhananya, masalah stunting berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Hal itu sejalan dengan dengan penelitian Bank Dunia (World bank) seputar stunting.

Riset tahun 2018 itu menyimpulkan, gagal tumbuh berkorelasi dengan penurunan  produktivitas sebuah negara. Diperkirakan, stunting dapat menurunkan produktivitas sebuah negara dan berdampak pada penurunan produksi domestik bruto antara 2-11 persen. Stunting juga berpengaruh pada pendapatan perkapita sebesar 7 persen.

Anak yang mengalami stunting, pada tahap awal, akan mengalami masalah berat badan rendah. Lama kelamaan, jika tidak segera diatasi, tinggi badan anak ikut bermasalah.

Mencegah akan jauh lebih mudah ketimbang mengobati. Ia menjelaskan, 1000 hari pertama kehidupan, sejak kehamilan hingga anak berusia dua tahun, merupakan periode krusial untuk mencegah stunting. Itu sebabnya ibu hamil dianjurkan memantau kehamilan tiap bulan. Kemudian, anak usia 0-1 tahun itu perlu pemantauan ke dokter juga setiap bulan. Sementara, anak usia 1-2 tahun dipantau per tiga bulan.

Pada awal tahun lalu, Presiden Jokowi menunjuk BKKBN sebagai garda terdepan penanganan stunting. Pemerintah menargetkan stunting bisa ditekan hingga 14 persen pada 2024.

Di lapangan, memberikan pemahaman seputar gizi anak menjadi kendala terbesar penanganan stunting. Pemahaman yang keliru itu berujung pada perilaku masyarakat yang tidak tepat.

Di tempat lain, minimnya pemahaman berakibat pada fokus penggunaan anggaran dana desa yang tidak tepat sasaran. Alih-alih untuk membiayai sektor kesehatan, ada kepala desa yang menggunakan dana desa sepenuhnya untuk membangun infrastruktur.

Alhasil, stunting menjadi masalah yang tidak terselesaikan di daerah tersebut. Sementara itu, Nanda Dwinta Sari, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan, menilai stunting sebagai masalah multidimensi.

Baginya, penanganan stunting bukan sekadar soal akses terhadap makanan sehat. Ia mencontohkan soal aspek budaya masyarakat seperti perkawinan anak. “Perkawinan anak juga menyumbang terhadap bayi stunting, jadi harus banyak pihak memberikan perhatian dan termasuk kesadaran masyarakat sendiri,” ia mengenaskan.

Lembaga yang ia pimpin bekerja sama dengan beberapa organisasi lain mencanangkan Indonesia bebas stunting pada 2030. Tantangannya menurut Nanda lumayan banyak, mulai dari minimnya perhatian banyak pihak, komitmen politik, hingga sulitnya mengubah perilaku masyarakat.

“Ada juga kekurangan data dari kemauan kita mengevaluasi program–program yang sudah dijalankan,” imbuhnya.

dikutip dari www.klikdokter.com