Artikel

Bagaimana Program KB dan Kesehatan Reproduksi Menjamin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Situasi kesehatan reproduksi di Indonesia dari perspektif upaya meningkatkan kesehatan reproduksi terutama kesehatan ibu dan anak, sepertinya masih perlu perhatian lebih. Hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan program dari kebijakan yang ada masih perlu diperbaiki. Hal lainnya adalah masalah akses (fisik dan sosial-ekonomi), dan kualitas layanan
kesehatan, Infrastruktur yang kurang memadai, distribusi dan kompetensi tenaga kesehatan belum optimal juga masalah perilaku masyarakat tidak menunjang.

Situasi tersebut tergambar melalui beberapa indikator seperti angka kematian ibu, kematian neonatal dan bayi, termasuk angka stunting pada anak usia 0-23 bulan, dimana angka-angka ini masih tinggi dimana Indonesia berada pada urutan ke-2 tertinggi di ASEAN.

Di negara kita sudah ada program-program kesehatan reproduksi khusunya program yang mencegah adanya gangguan atau ancaman terhadap kehamilan seperti program keluarga berencana (KB), kesehatan ibu dan anak, penanggulangan IMS dan HIV, penanggulangan ISPA dan diare, juga program perbaikan gizi.

Semua program itu secara konseptual adalah program strategis (berpotensi untuk menanggulangi kematian maupun kesakitan) dan bisa dilakukan sesuai kemampuan (cost effective). Namun pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita belum juga berhasil menurunkan angka kematian jikapun ada jumlahnya tidak banyak berubah banyak? Inilah yang memunculkan kesimpulan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam strategi program tersebut.

Program KB bukan hanya satu program yang semata-mata untuk mengendalikan jumlah penduduk, namun program ini adalah upaya mencegah kehamilan berisiko, mencegah kesakitan dan kematian selama kehamilan. Program ini strategis karena intervensinya pada awal kehidupan (proses reproduksi), karena gangguan pada awal kehidupan ini akan berdampak negatif jangka panjang baik fisik, mental dan sosial bahkan hingga lintas generasi.

Dari berbagai literatur juga menjelaskan bahwa program KB berdampak tidak saja pada kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berdampak jangka panjang kepada hampir semua aspek tujuan pembangunan kesehatan masyarakat termasuk pembangunan sosial ekonomi.

Berbagai studi yang dilakukan di beberapa negara termasuk di Indonesia didapatkan bahwa program KB sangat terkait dengan penurunan kematian ibu, yaitu rata-rata sebesar 40%. Selain itu juga hasil review dari data-data di 153 negara menunjukan keterkaitanyang kuat antara program KB dengan penurunan angka stunting, seperti yang terlihat dari bagan di bawah.

Kita perlu memahami apa ancaman terhadap kesehatan reproduksi ada beberapa hal, yaitu:

  • Kehamilan tidak diingikan (KTD): kecendrungan untuk mengugurkan kandungan (aborsi) ditengah larangan dan norma-norma masyarakat maka aborsi biasanya dilakukan ditempat tidak aman yang penuh risiko.
  • Kehamilan 4 Terlalu (Terlalu Muda/Tua/Dekat/Banyak): kehamilan terjadi pada saat ibu yang tidak siap secara fisik, mental dan sosial.
  • Penyakit yang timbul akibat infeksi (IMS/HIV, ISPA, Diare)
  • Kurang/gangguan gizi (infeksi dan asupan makanan).

Prinsip program KB adalah mencegah kehamilan berisiko (KTD dan kehamilan 4 terlalu) dengan penggunaan kontrasepsi jangka pendek atau jangka panjang, bukan untuk melarang orang untuk hamil namun harus sudah siap fisik, mental dan sosial dimana idealnya ibu melahirkan pada umur minimal 20 – 35 tahun, dan ini merupakan tantangan program KB.

Ada 2 mekanisme program KB menurunkan kematian ibu dan anak, yaitu pertama adalah menurunkan kehamilan karena tentu saja apabila tidak ada kehamilan maka tidak ada kematian maternal atau kematian anak. Mekanisme kedua yang penting dari perspektif kesehatan adalah menurunkan kehamilan berisiko, karena dampak risiko ini tidak hanya menimbulkan kematian pada ibu hamil, namun berkaitan erat dengan kematian neonatal atau anak yang dikandung.

Tantangan program KB di Indonesia adalah menurunkan unmet need KB menuju zero unmet need (UNMET NEED : pasangan usia subur (PUS) ingin menunda atau membatasi kehamilan tetapi tidak menggunakan kontrasepsi) karena akan berisiko KTD, aborsi tidak aman dan kematian ibu (maternal).

Untuk menurunkan unmet need KB perlu peran semua stakeholder (BKKBN dan Kemenkes) untuk meningkatkan permintaan (demand) layanan KB termasuk meningkatkan cakupan dan kualitas komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) pada masyarakat. Kemudian juga perlu meningkatkan akses dan kualitas layanan termasuk konseling kontrasepsi (informed choice services) dan memperpanjang pemakaian kontrasepsi.

dikutip dari presentasi Prof. dr. Budi Utomo, MPH, Ph.D pada Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi 30 Juni 2021.