Artikel

Bansos Bikin Heboh: Vasektomi Jadi Syarat, Apa Kabar Hak Kesehatan Reproduksi ?

Usulan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi agar vasektomi menjadi syarat penerima bantuan sosial (bansos) dan beasiswa menuai kontroversi yang luas. Banyak pihak menilai kebijakan ini diskriminatif, terlalu ekstrim dan berpotensi melanggar hak kesehatan reproduksi (Kespro) dan hak asasi manusia (HAM) terutama bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan. 

Kebijakan ini diumumkan pada April 2025 dalam rapat koordinasi bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Bandung. Adapun tujuan dikeluarkannya kebijakan ini untuk mengendalikan angka kelahiran di kalangan keluarga prasejahtera, memastikan distribusi bantuan yang lebih adil, dan mengurangi beban reproduksi yang selama ini lebih banyak ditanggung perempuan. Dedi mengamati bahwa banyak keluarga miskin memiliki anak dalam jumlah besar, sering kali dengan biaya persalinan tinggi (seperti operasi sesar yang mencapai Rp 25 juta), sehingga membebani anggaran negara, beliau juga menawarkan insentif Rp500.000 bagi pria yang bersedia menjalani vasektomi.

Pertanyaan yang kemudian muncul apa dampak dari kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos? 

  • Diskriminasi dan Ketidakadilan Sosial
    Kebijakan ini dinilai sangat diskriminatif dan berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial, karena hanya menyasar kelompok miskin yang umumnya memiliki anggota keluarga lebih banyak. Alih-alih inklusif, sistem bansos menjadi eksklusif dan memaksa kelompok rentan untuk mengikuti prosedur medis permanen agar bisa mengakses hak dasarnya
  • Pelanggaran Hak Asasi dan Kesehatan Reproduksi
    Mengaitkan bansos dengan vasektomi berpotensi melanggar prinsip HAM dan hak konstitusional warga negara, dimana intervensi negara masuk terlalu jauh ke ranah privat warga. Prosedur medis yang bersifat pribadi dan permanen seharusnya menjadi pilihan individu, bukan syarat administratif untuk mendapatkan bantuan pemerintah. 
  • Risiko Sosial dan Trauma
    Kebijakan ini berpotensi menimbulkan trauma sosial, mengulang pengalaman negatif masa lalu ketika program KB dipaksakan tanpa partisipasi publik yang memadai. Tekanan administratif semacam ini dapat menimbulkan penolakan luas dan stigma sosial terhadap keluarga miskin
  • Tidak Menyentuh Akar Masalah Kemiskinan
    Para ahli menilai, kemiskinan tidak bisa diatasi hanya dengan menekan angka kelahiran melalui vasektomi. Pemerintah harus mencari solusi yang lebih konkrit dan efektif dalam mengatasi permasalahan kepadatan penduduk dan kesenjangan ekonomi dengan tidak membatasi hak reproduksi masyarakat

Hubungan dengan Kesehatan Reproduksi

Kontrasepsi memberikan manfaat signifikan dalam pengendalian penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur jumlah dan jarak kelahiran, mengurangi risiko kematian ibu dan bayi, serta meningkatkan kualitas hidup keluarga. Dengan penggunaan kontrasepsi, masyarakat dapat merencanakan keluarga yang lebih kecil dan sehat, mengurangi tekanan pada sumber daya, dan meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang. 

Kontrasepsi mempengaruhi keputusan reproduksi dalam keluarga dengan memberikan kontrol kepada pasangan, untuk menentukan apakah dan kapan ingin hamil lagi yang sering didasari oleh pertimbangan ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan keluarga. Dalam banyak kasus, keputusan kontrasepsi merupakan hasil negosiasi antara suami dan istri, dengan perempuan sering memikul tanggung jawab utama dalam pemakaian kontrasepsi meski terkadang harus menyesuaikan dengan preferensi suami. 

Pemerintah memiliki peran penting dalam menyediakan akses terhadap kontrasepsi dan memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat. Melalui program keluarga berencana (KB), pemerintah dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kontrasepsi dan mendorong penggunaan yang lebih luas tidak hanya pada perempuan namun juga ada alat kontrasepsi bagi laki-laki meskipun pilihannya tidak sebanyak perempuan, seperti kondom laki-laki dan vasektomi.

Tulisan ini bertujuan ingin menjelaskan manfaat dari kontrasepsi khususnya vasektomi dan bagaimana kita menghapus stigma dan diskriminasi pada upaya perencanaan kehamilan sebagai upaya pemenuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan. 

Program perencanaan keluarga merupakan bagian dari program pembangunan suatu negara termasuk Indonesia yang juga bertujuan dalam upaya peningkatan kesehatan, kesejahteraan dan pengendalian jumlah penduduk. Namun, seringkali dalam pelaksanaanya program ini mengabaikan hak dan kebutuhan perempuan dan laki-laki sebagai pemilik penuh tubuhnya.

Selama ini, beban KB mayoritas ditanggung perempuan melalui metode seperti pil, suntik, atau ligasi tuba, yang seringkali memiliki efek samping seperti gangguan hormonal atau risiko infeksi. Maka kontrasepsi pada laki-laki seperti vasektomi dapat mengurangi beban ini, karena prosedurnya lebih sederhana dan minim resiko dibandingkan sterilisasi perempuan. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), efektivitas vasektomi sedikit lebih tinggi daripada sterilisasi perempuan dalam mencegah kehamilan dan minim efek samping dibandingkan alat kontrasepsi hormonal yang sering digunakan oleh perempuan. 

Vasektomi adalah prosedur kontrasepsi permanen pada pria yang memotong atau menyumbat saluran vas deferens, mencegah sperma bercampur dengan air mani, sehingga tidak terjadi kehamilan. Prosedur ini memiliki tingkat efektivitas lebih dari 99% dan dianggap aman, murah, serta tidak mempengaruhi libido atau fungsi seksual. Namun, pembalikan (rekanalisasi) tidak selalu berhasil dan biayanya jauh lebih mahal. Perlu diketahui resiko dari vasektomi masih ada yaitu infeksi karena operasi, jika hal ini terjadi, segeralah hubungi dokter untuk penanganan secara seksama. 

Mereka yang tidak cocok dengan metode ini: 

  • Penderita hernia
  • Penderita kencing manis (diabetes)
  • Penderita kelainan pembekuan darah
  • Penderita penyakit kulit atau jamur di daerah kemaluan
  • Tidak/belum tetap pendiriannya (masih sangat ragu-ragu)
  • Memiliki peradangan pada buah zakar. 

Mereka yang dianggap cocok dengan metode vasektomi adalah: 

  • Pasangan yang tidak lagi ingin menambah jumlah anak
  • Pasangan yang istrinya sudah sering melahirkan atau
  • Memiliki penyakit yang membahayakan kesehatan perempuan
  • Pasangan yang telah gagal dengan kontrasepsi lain. 

Dengan kata lain, kontrasepsi mantap seperti vasektomi ini dianjurkan untuk mereka yang tidak memiliki kecenderungan penyakit tersebut diatas, atau tidak lagi berkeinginan menambah jumlah anak, atau yang memiliki masalah atau kerentanan lainnya dimana  kehamilan akan membahayakan pasangannya atau mengancam nyawa perempuan. 

Menurut Nanda Dwinta Sari – Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) “Sebaiknya program-program pembangunan seperti peningkatan kesejahteraan dan pengendalian penduduk,yang sering dikenal dengan program keluarga berencana atau perencanaan kehamilan, melalui penggunaan alat kontrasepsi baik pada perempuan dan laki-laki harus disertai dengan informasi dan edukasi yang benar, lengkap dan terperinci sehingga tidak ada stigma yang muncul bagi mereka yang mengakses kontrasepsi. Idealnya kesadaran penggunaan alat kontrasepsi datang dari si pemilik tubuh itu sendiri, dimana laki-laki yang akan melakukan operasi vasektomi harus melakukannya secara sukarela (consent) dan memberikan persetujuan. Indonesia memang dihadapi pada persoalan jumlah penduduk yang hampir tidak terkendali namun jangan sampai program atau kebijakan yang dikeluarkan bertolak belakang dengan prinsip pemenuhan hak kesehatan reproduksi yang adil, inklusif dan sukarela.”

Kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos memiliki niat baik untuk mengatasi kemiskinan dan mempromosikan kesetaraan gender dalam KB, tetapi pendekatan koersifnya bermasalah. Menjadikan intervensi medis sebagai syarat bantuan sosial melanggar prinsip HAM dan berisiko mendiskriminasi kelompok miskin. Alih-alih memaksa, pemerintah seharusnya berfokus pada edukasi dan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi, baik untuk pria maupun perempuan. Edukasi yang inklusif, bebas dari bias kelas, dan sensitif terhadap nilai budaya serta agama dapat mendorong partisipasi sukarela dalam program KB.

Vasektomi memang dapat mengurangi beban kesehatan reproduksi perempuan, tetapi tanpa mengatasi norma patriarki dan ketimpangan struktural, manfaatnya akan terbatas. Pemerintah juga perlu meningkatkan akses terhadap pelayanan KB pria, seperti klinik urologi dan konseling, agar vasektomi menjadi pilihan yang terinformasi, bukan paksaan. Sebagai solusi jangka panjang, investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja bagi keluarga prasejahtera akan lebih efektif menurunkan angka kelahiran dan memutus siklus kemiskinan, tanpa mengorbankan martabat individu.