Setiap 11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Peringatan itu diadakan untuk mendukung hak dan mendorong keterlibatan penuh anak perempuan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Dilansir dari laman resmi United Nations, Hari Anak Perempuan Sedunia atau International Day of the Girl Child bermula di tahun 1995. Saat itu, digelar Konferensi Dunia tentang Perempuan di Bejing. Perwakilan negara-negara dengan suara bulat mengadopsi Deklarasi Beijing dan Platform Aksi – cetak biru paling progresif yang pernah ada- untuk memajukan hak-hak perempuan, termasuk anak perempuan. Deklarasi Beijing adalah yang pertama secara khusus menyerukan hak-hak anak perempuan.
Pada 19 Desember 2011, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 66/170 untuk menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Penetapan ini sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak anak perempuan dan tantangan unik yang dihadapi anak perempuan di seluruh dunia.
Hari Anak Perempuan Sedunia berfokus mengatasi tantangan yang dihadapi anak perempuan dan untuk mempromosikan pemberdayaan anak perempuan dan pemenuhan hak asasi mereka di seluruh dunia, termasuk di negara kita Indonesia.
Anak perempuan di Indonesia saat ini masih mengalami ketertinggalan dan banyak tantangan. Padahal, anak perempuan memegang peranan penting dalam kemajuan dan masa depan sebuah negara. Bagi anak perempuan marjinal, kesempatan mereka untuk dapat berkembang dihambat dengan beragam sebab, mulai dari ketimpangan stigma sosial, rendahnya tingkat ekonomi keluarga dan rendahnya akses anak pendidikan, dimana capaian anak perempuan yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar dan tidak/belum pernah bersekolah lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan persentase masing-masing 20,74 persen dan 15,29 persen (Susenas 2018).
Rentan Menjadi Korban Perkawinan Anak
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam Peluncuran Program AyoKursus, Rabu, 22 September 2021 mengatakan banyak anak yang putus sekolah akibat pandemi covid-19. Dia menyebut kelompok siswa yang paling rentan putus sekolah adalah anak perempuan.
Fenomena putus sekolah makin marak di masa pandemi COVID-19, menurut temuan beberapa lembaga. Proses pembelajaran jarak jauh tidak efektif dan ekonomi rumah tangga terpukul jadi penyebabnya. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sepanjang 2020 terdapat 119 kasus putus sekolah dan 21 di antaranya karena menunggak SPP. Lalu sepanjang Januari-Maret 2021, 33 anak putus sekolah karena menikah yang juga disinyalir karena alasan ekonomi.
Komnas Perempuan menghimpun data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir. Temuannya, angka dispensasi pernikahan melonjak tajam terutama dalam dua tahun terakhir. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan; 2017 ada 11.819; 2018 terdapat 12.504; pada 2019 ada 23.126; dan pada 2020 sebanyak 64.211.
Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan, dispensasi pernikahan diberikan atas alasan yang mendesak, terpaksa, dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti yang mendukung. Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah celah hukum pernikahan di bawah 19 tahun.
Menurut Komnas Perempuan tingginya angka dispensasi pernikahan ini menjadi tanda bahaya. Perkawinan anak akan menyebabkan penurunan kualitas SDM Indonesia karena berarti anak-anak perempuan terhenti pendidikannya. Selain itu berpotensi melahirkan anak stunting, meningkatkan angka kematian ibu, juga kekerasan dalam rumah tangga.
Rentan Menjadi Korban Kekerasan
Banyaknya persoalan yang mengancam 80 juta anak Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak khususnya anak perempuan. Berdasarkan data CATAHU Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau hampir delapan kali lipat.
Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) pun melonjak sebanyak 2.341 kasus pada 2020, melonjak dari tahun sebelumnya sekitar 65 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan kondisi perempuan Indonesia mengalami kehidupan yang tidak aman.
Kondisi rentan terhadap kekerasan di masa pandemi Covid-19 menjadi tantangan berat dikarenakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat cukup signifikan. Hal tersebut terlihat dari laporan-laporan yang masuk ke sistem informasi online milik Kementerian PPPA (Simponi).
Data Simponi menunjukkan, terdapat perbedaan cukup signifikan dari data sebelum pandemi pada 1 Januari – 28 Februari 2020 dan setelah pandemi berlangsung 29 Februari – 31 Desember 2020. Sebelum pandemi, ada 1.913 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kemudian, saat pandemi terjadi peningkatan sebanyak lima kali menjadi lebih dari 5.500 kasus.
Sementara pada anak, peningkatan kasus juga terjadi cukup siginfikan. Sebelum pandemi, ada 2.851 kasus kekerasan anak yang dilaporkan ke dalam Simponi dan meningkat menjadi lebih dari 7.190 kasus ketika pandemi. Perlu upaya pencegahan yang mengacu pada protokol penanganan anak korban kekerasan dalam situasi pandemi COVID-19, agar angka tersebut tidak bertambah lagi.
Upaya Yang Sudah Dilakukan Pemerintah Indonesia
Perempuan dan anak perempuan saat ini masih menjadi kelompok masyarakat yang tertinggal di berbagai aspek pembangunan, padahal kesetaraan gender harus menjadi prinsip dalam pelaksanaan pencapaian SDG’s. Masih adanya kesenjangan Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM) khususnya yang dialami perempuan dan anak menjadi tantangan pemerintah untuk mempercepat program pemberdayaan perempuan untuk mengejar kemajuan laki-laki. Prinsipnya, no one left behind. Kesetaraan gender di berbagai sektor pembangunan harus diupayakan bersama.
Pemerintah sudah memasukkan Isu gender dalam berbagai bidang pembangunan, diantaranya kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perkawinan anak, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, upaya mendorong seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat dan daerah untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG).
PUG menjadi suatu strategi untuk mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan.
Selain pembangunan pemberdayaan perempuan, isu yang tidak kalah penting dan juga menjadi fokus perhatian pemerintah ialah pemenuhan hak anak. Hal tersebut tertuang dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sepertiga dari jumlah seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 87 juta jiwa merupakan anak. Hal tersebut menjadi alasan pemerintah harus bekerja keras menciptakan anak-anak yang siap untuk membangun masa depan berkualitas.
Hari Anak Perempuan Sedunia 2021
Melansir dari laman resmi UN Women, perayaan Hari Anak Perempuan Sedunia tahun ini mengangkat tema yakni Digital Generation, Our Generation atau Generasi Digital, Generasi Kita.
Pandemi telah mempercepat platform digital untuk belajar, menghasilkan, dan terhubung, sementara juga menyoroti beragam realitas digital anak perempuan. Kesenjangan digital gender dalam konektivitas, perangkat dan penggunaan, keterampilan dan pekerjaan telah menjadi masalah nyata. Kesenjangan ini merupakan tantangan yang harus diatasi agar revolusi digital dapat terwujud.
Untuk itu, kita dapat memanfaatkan momen ini untuk mendukung realitas digital yang dapat menciptakan kebebasan berekspresi, kegembiraan, dan potensi tanpa batas bagi seluruh anak perempuan di dunia.
Jika didukung secara efektif, anak perempuan memiliki potensi untuk mengubah dunia, baik sebagai anak perempuan yang berdaya hari ini maupun sebagai pekerja, ibu, pengusaha, mentor, kepala rumah tangga, dan pemimpin politik masa depan.
Investasi ini akan menjanjikan masa depan yang lebih adil dan makmur, di mana setengah dari umat manusia adalah mitra yang setara dalam memecahkan masalah perubahan iklim, konflik politik, pertumbuhan ekonomi, pencegahan penyakit, dan keberlanjutan global.
Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ( SDGs ) yang diadopsi oleh para pemimpin dunia pada tahun 2015, mewujudkan peta jalan untuk kemajuan yang berkelanjutan dan tidak meninggalkan siapa pun. Mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dari masing-masing dari 17 tujuan .
Hanya dengan memastikan hak-hak perempuan dan anak perempuan di semua tujuan kita akan mendapatkan keadilan dan inklusi, ekonomi yang bekerja untuk semua, dan mempertahankan lingkungan kita bersama sekarang dan untuk generasi mendatang.
dirangkum dari berbagai sumber