Revisi UU Kesehatan diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi layanan kesehatan masyarakat, termasuk bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
Rancangan Undang-Undang Kesehatan diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan terbaik para perempuan dan anak perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual, terutama yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Hal ini penting untuk memastikan hak korban kekerasan seksual atas layanan kesehatan komprehensif dijamin negara.
Selain itu, RUU Kesehatan juga harus memiliki perspektif perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan serta harmonis dengan peraturan perundang-undangan lain.
Meski telah diharmonisasi dengan UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pengaturan pengecualian aborsi dalam RUU Kesehatan, misalnya, diharapkan berpihak kepada korban pemerkosaan dan kekerasan seksual.
Harapan tersebut mengemuka dalam webinar ”Perempuan Korban Kekerasan Seksual Dalam Pusaran RUU Kesehatan” yang diselenggarakan Yayasan IPAS, Senin (22/5/2023), secara daring. Hadir sebagai pembicara Ana Abdillah dari Women Crisis Centre/WCC Jombang; Oktavinda Safitry dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia; dan Erfen Gustiawan Suwangto dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia.
Hadir juga sebagai penanggap Zumrotin K Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan, Marcia Soumokil dari Yayasan IPAS, Ilyas Angsar dari Pokja Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, dan Maria Ulfah Anshor dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
”Salah satu pasal yang harus ditambahkan dalam RUU Kesehatan adalah mempertegas bahwa kasus kekerasan seksual adalah layanan kesehatan karena yang selalu menjadi masalah di situ,” kata Oktavinda.
Selama ini, visum pada kasus-kasus kekerasan seksual tidak dianggap sebagai layanan kesehatan. Akibatnya, pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan pemerkosaan tidak optimal.
Oktavinda mengusulkan ada pasal yang mempertegas soal layanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual. Pasal tersebut harapannya mencakup promotif, preventif, kuratif, pembuktian, visum, pemberian kontrasepsi darurat, hingga aborsi sampai pelayanan setelah aborsi.
”Rehabilitasi medis, psikososial juga harus masuk di dalamnya, dibiayai melalui bidang kesehatan. Jadi, enggak lompat ke mana-mana, dan kita yang melakukan layanan kesehatan juga tenang karena kita tahu ini memang kerja kita dan ditanggung. Jadi, pasiennya enggak bingung-bingung,” tegas Oktavinda.
Pengaturan tersebut penting karena selama ini layanan kesehatan untuk korban kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Pengecualian aborsi
Pada RUU Kesehatan juga diatur pengecualian layanan aborsi yang diberikan pada dua kondisi. Pertama, adanya indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Kedua, kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan. Sejak disahkan 14 tahun lalu, implementasi peraturan aborsi aman ini belum ditata dan diselenggarakan sehingga korban pemerkosaan tidak bisa mendapatkan akses layanan yang dibutuhkan.
Draf RUU Kesehatan yang diserahkan pemerintah kepada DPR pada April 2023 juga mengatur perluasan akses dari korban pemerkosaan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lain yang dapat menyebabkan kehamilan. Ini sesuai dengan KUHP Pasal 463 Ayat 2. Batas kehamilan yang ditetapkan dalam regulasi ini adalah 14 minggu bagi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lain yang dapat menyebabkan kehamilan.
Ana Abdillah menyatakan, WCC Jombang pernah mendampingi anak perempuan baru lulus SD yang hamil dua bulan karena diperkosa buruh pabrik. Keluarga korban tidak siap menghadapi kehamilan itu dan mengupayakan aborsi aman sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, tetapi tidak berhasil.
Pada April 2021, WCC Jombang juga mendampingi anak 12 tahun korban pemerkosaan. Meski telah melapor kepada polisi, korban tidak langsung mendapat layanan kesehatan. Polisi menyarankan tidak boleh digugurkan.
”Ke depan, UU Kesehatan kita harus lebih manusiawi, harus dengarkan suara masyarakat bahwa aborsi aman adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya layanan komprehensif bagi korban kekerasan seksual,” kata Ana.
Adapun Zumrotin K Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan mengungkapkan, tidak mudah mengawal pengecualian aborsi dalam UU Kesehatan. ”Kalau merujuk UU lama, hanya boleh ditempat yang ditunjuk Kemenkes dan sampai sekarang tidak ditunjuk,” katanya.
Sementara Marcia Soumokil berharap, RUU Kesehatan akan menjamin seberat apa pun yang dialami korban kekerasan seksual dan pemerkosaan tidak akan menghentikan masa depan korban. Pengalaman selama ini, korban kekerasan seksual yang hamil, pendidikannya terhenti.
”Yang harus kita ingat penghentian kehamilan pada korban adalah pilihan dari banyak pilihan yang harus kita berikan pada perempuan dan anak perempuan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan. Jadi, bukan serta-merta harus diaborsi. Tidak. Itu pilihan,” kata Marcia.
sumber: kompas.id