Blog

Diskusi Terbatas: CSO dan Pemerintah terkait Implementasi UU TPKS dan Penyusunan PP UPTD Diskusi Terbatas

Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) merupakan mandat dan kewajiban yang harus dipenuhi secara bersama dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan setiap masyarakat. Terpenuhinya Kesehatan Seksual dan Reproduksi tidak hanya perihal informasi dan pendidikannya saja, namun harus secara komprehensif termasuk layanan yang berkualitas dan bermutu bagi seluruh masyarakat, seperti yang tertulis pada PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Layanan Kesehatan Reproduksi yang komprehensif merupakan kebutuhan yang harus tersedia bagi masyarakat, terutama bagi perempuan dan korban kekerasan seksual, karena mereka lah yang memiliki pengalaman yang kompleks terkait kesehatan seksual dan reproduksi.

Menjadi korban dan mengalami kehamilan merupakan situasi terberat yang harus dihadapi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Korban mengalami luka fisik dan trauma psikologis secara bersamaan yang membutuhkan waktu untuk sembuh.

Angka kasus kekerasan seksual masih tinggi hingga saat ini, berikut data kasus kekerasan seksual di Indonesia:

  1. 3.567 kasus kekerasan seksual dengan total korban 8.725 orang (Simfoni KPPPA, Jan-Mei 2022)
  2. 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir (Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional-SPHPN, 2016)
  3. Dari 281 kasus KBGS (2019) dan 942 kasus (2020), di 2021 melesat menjadi 1.721 kasus (Komnas Perempuan, 2021)
  4. Terdapat pengaduan masuk sebanyak 828 kasus KBGO dari total 1.908 aduan kekerasan berbasis digital (SAFENet, Jan-Mei 2022)
  5. Mencatat 93 persen korban tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya (Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co dan Change.org, 2016)

Penanganan kasus kekerasan seksual pun masih memiliki banyak tantangan salah satunya pada penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif termasuk aborsi aman, dimana hal ini telah dimandatkan pada kebijakan-kebijakan yang ada, yaitu:

  1. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan beserta turunannya
  2. PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
  3. PMK No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan
  4. UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum yang menjamin pemenuhan hak bagi setiap korban kekerasan seksual telah hadir sebagai harapan bagi setiap masyarakat. Namun tentu saja setiap kebijakannya harus didukung oleh layanan yang terpadu dan komprehensif pula. Pada proses implementasinya, UU ini harus diperkuat dengan kebijakan pendukung seperti Peraturan Pemerintah atau yang setara seperti Peraturan Presiden yang dapat memberikan petunjuk teknis secara detail.

Saat ini, ketersediaan UPTD yang dibentuk oleh pemerintah belum secara komprehensif memberikan layanan dan kebutuhan korban kekerasan seksual. Dimana layanan UPTD PPA (menurut riset INFID tahun 2022) yang diatur pada Permen Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak: konsep “layanan terpadu satu atap” sebagai mekanisme kerja tidak lagi disebutkan, dan yang perlu menjadi perhatian juga, ruang lingkup layanan UPTD PPA menjadi lebih terbatas. Lingkup layanan kesehatan dan layanan rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial yang diatur dalam dua Permen PPA sebelumnya tidak lagi diatur dalam Permen 4/2018 untuk itu perlu sejumlah upaya yang tepat sasaran dan melibatkan semua pihak terkait agar kita bersama dapat mewujudkan layanan pemulihan yang komprehensif bagi korban perkosaan.

Hal ini secara jelas menggambarkan adanya kebutuhan layanan Kesehatan reproduksi yang komprehensif termasuk aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Dimana saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan kesiapan pelaksanaan pelayanan Kespro komprehensif termasuk aborsi aman, untuk itu upaya ini harus didukung dan diperkuat berbagai pihak, K/L, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, organisasi masyarakat dan lainnya.

Demi mewujudkan kualitas Kesehatan masyarakat yang lebih baik termasuk ketersediaan layanan bagi perempuan dan korban kekerasan seksual, selain pemerintah, peran organisasi masyarakat juga penting untuk dilihat, karena mereka telah banyak berperan sebagai pendamping korban, pendamping hukum, konselor, dan pembela hak-hak korban. Untuk itu kolaborasi bersama antara pemerintah dan organisasi masyarakat perlu dilakukan agar setiap kebijakan dan layanan yang disediakan bagi masyarakat dapat terealisasi sesuai dengan kebutuhan dan bermakna.

Kegiatan diskusi terbatas dilaksanakan tanggal 6 Desember 2022 secara offline dan online (hybrid) di salah satu hotel di Jakarta. Sebelum memulai diskusi yang dimoderatori oleh Ibu Zumrotin KS ada papatan materi dari Ibu drg. Kartini Rustandi, M.Kes selaku Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kemenkes RI yang memaparkan Kebijakan dan Strategi Sektor Kesehatan Dalam Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Dilanjutkan oleh Bapak Ali Khasan, S.H., M.Si. selaku Asdep Musjak PHP, Kementerian PPPA yang memaparkan Perkembangan Penyusunan
Perpres tentang UPTD PPA. Pemapar terakhir adalah Ibu Ratna Batara Mukti yang menyampaikan hasil rumusan Draft PP UPTD rekomendasi dari organisasi masyarakat.