DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Selasa, 6 Desember 2022 hari ini, padahal masih terdapat banyak pasal bermasalah yang bisa mengancam banyak masyarakat bahkan orang yang TIDAK MELAKUKAN KEJAHATAN.
Sebelum pengesahan KUHP pada Selasa (6/12) ini, Komisi III DPR RI dan pemerintah telah mengambil keputusan tingkat I soal draft RKUHP. Mereka menyepakati RKUHP dibawa rapat paripurna untuk disahkan. Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir dan dihadiri Wamenkumham Edward OS Hiariej.
Hingga 5 Desember 2022 ini, aksi menolak pasal-pasal RKUHP bermasalah kembali digelar di halaman gedung DPR RI, Senayan, Jakarta terus terjadi. Berbagai aktivis demokrasi dan HAM menyerukan agar RKUHP dibatalkan. Sebab semua bisa menjadi korban. Termasuk, bisa jadi ancaman yang berdampak buruk bagi perempuan, kelompok marginal hingga pers.
Setidaknya ada 18 pasal bermasalah yang dianalisa. Sebanyak 6 pasal bermasalah dalam RKUHP mengancam perempuan. Apa saja?
1.Pasal Living Law Tentang Tidak Adanya Batasan Hukum di Masyarakat
Pertama, yaitu pasal living law pada pasal 2 RKUHP. Pasal ini dianggap berbahaya sebab tidak adanya batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Seseorang dapat dipidana bila ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya.
Pasal ini membuka ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan, meskipun perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan.
“Keberadaan pasal ini bisa berpotensi memunculkan diskriminasi-diskriminasi baru. Dalam konteks diskriminasi terhadap perempuan, misalnya keberadaan peraturan daerah yang selama ini diskriminatif terhadap perempuan bisa semakin kuat karena adanya dukungan dari pasal ini,” tulis hasil analisis tersebut.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2018 terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan, yang mengatur misalnya melarang perempuan tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan. Hal ini akan mengkhawatirkan, nantinya Pasal 2 ayat (1) ini akan menjadi legitimasi munculnya kembali aturan-aturan tingkat lokal yang mendiskriminasi perempuan.
Kriminalisasi setiap bentuk hubungan seksual di luar ikatan perkawinan dan hidup bersama sebagai suami istri (Pasal 417 dan Pasal 418 RKUHP). Dengan pasal ini, seseorang yang melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan akan dikriminalisasi, yang dapat mengadukan kriminalisasi tersebut adalah orang tua, anak, atau pasangan: suami/istri.
“Pasal ini bisa menjerat anak karena pasal tersebut tidak membatasi usia pelaku, berarti anak-anak yang berhubungan seksual bisa dipidana atas dasar aduan orang tuanya. Dalam kondisi ini, potensi kawin paksa, utamanya perkawinan anak bisa terjadi, perkawinan bisa dianggap sebagai “jalan keluar”.
Perkawinan anak mayoritas terjadi pada anak perempuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2018, 11,21 persen perempuan 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Angka perkawinan anak perempuan di Sumatera Barat di angka 6.0 persen.
Sebagai catatan, Penelitian Koalisi 18+ (2019) mengenai dispensasi perkawinan di tiga daerah menunjukkan bahwa alasan tertinggi (89%) permohonan dispensasi perkawinan adalah karena kekhawatiran orang tua mengenai anaknya yang sudah berpacaran, terdapat asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
“Dengan adanya pasal ini, orang tua akan memiliki “amunisi baru” untuk memaksakan perkawinan pada anak perempuan, menjadikan perkawinan sebagai solusi. Padahal banyak laporan telah menyatakan perkawinan anak membawa dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, pendidikan, dan partisipasi kerja. Pengaturan dalam RKUHP ini patut dihindari untuk mencegah diskriminasi terus menerus pada perempuan, utamanya anak perempuan,” katanya.
2.Pasal Kontrasepsi Yang Bisa Mengkriminalisasi
Kedua, adanya pasal soal kontrasepsi pada pasal 410, pasal 411, dan pasal 412. Pasal ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang yang mengedukasi kesehatan reproduksi.
“Contoh Anda punya anak dan ingin mengedukasi anak sejak dini agar mengenal organ reproduksinya. Maka Anda bisa dipidana ketika RKUHP disahkan karena dianggap bukan petugas berwenang,” lanjutnya.
3.Pasal Kesusilaan yang Berbahaya bagi Kebebasan Berekspresi
Ketiga, pasal yang mengatur kesusilaan yaitu pada pasal 172 dan pasal 408. Kaitannya dengan ini, para pekerja seni dapat dipidana dengan pasal ini apabila karyanya dianggap melanggar kesusilaan. Pasal ini berbahaya bagi kebebasan berekspresi para pekerja seni.
“Selain itu, pasal ini juga berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan seksual,” kata dia.
Pada pasal penjelas 408, versi saat ini, ditemukan hanya menuliskan aktivitas seksual saja. Padahal, frasa aktivitas seksual tidak memiliki batasan ataupun penjelasan definisi maupun awal mula suatu perbuatan dianggap sebagai aktivitas seksual.
“Jika bunyi pada penjelasan masih tetap berpatok pada aktivitas seksual maka bisa jadi pegangan tangan yang dilakukan oleh pasangan dalam perkawinan di depan publik dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar kesusilaan,” ungkapnya.
Pencantuman “aktivitas seksual” pada penjelasan pelanggaran kesusilaan dapat berpotensi menjadi pasal karet yang memidana semua orang. Penjelasan ini tentunya akan berpotensi menjadi tindakan persekusi dan main hakim sendiri oleh masyarakat (eigenrichting) dan pelanggaran ruang privat warga negara.
4.Pasal Tindak Pidana Agama
Keempat, pasal yang mengatur tindak pidana agama, di antaranya pasal 300, pasal 301, pasal 302. Pasal ini dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi masyarakat yang bukan umat beragama.
“Pasal ini berbahaya karena negara turut campur dalam urusan antara individu dengan kepercayaan atau Tuhan-NYA,” ucap dia.
5. Pasal Berita Bohong yang Membungkam Kebebasan Pers
Kelima, ada pula pasal soal berita bohong, yaitu pasal 263, pasal 264. Pasal ini merupakan pasal berbahaya karena bisa membungkam kebebasan pers. Padahal, aturan tentang pemberitaan telah diatur melalui mekanisme UU Pers yang kewenangannya ada di bawah Dewan Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar aksi secara offline dan online di berbagai kota pada Minggu-Senin (4-5 Desember 2022) untuk menolak pasal-pasal bermasalah di RKUHP.
AJI masih menemukan 17 pasal bermasalah dalam draf RKUHP versi 30 November 2022 yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal tersebut antaralain:
- Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
- Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
- Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
- Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
- Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
- Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
- Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
- Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
- Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
- Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Selain itu, AJI menilai pembahasan RKUHP tidak transparan dan tidak memberikan ruang kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara bermakna.
6.Pasal Pidana untuk Pelaku Disabilitas
Keenam, tanggung jawab pidana penyandang disabilitas pada pasal 38, pasal 39, pasal 103 ayat (2), pasal 99 ayat (4) juga dinilai tak memberikan keadilan.
“Tidak ada ketentuan penghapusan pidana untuk pelaku disabilitas mental, hanya ada pengurangan pidana. Padahal pelaku pidana disabilitas mental sering kali tidak melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar sehingga tidak dapat bertanggung jawab untuk perbuatannya,” katanya.
Pada pasal 39, aturan ini tidak bisa diberlakukan secara merata (status based discrimination). Dalam konteks disabilitas psikososial, perlu dipertimbangkan fluktuasi dari kondisi mental seseorang, pendekatan dari pasal ini tidak bisa all or nothing.
Sementara pada pasal 103, Ia tidak memenuhi kepastian hukum karena berpotensi menghasilkan penahanan tanpa batas waktu dan bergantung pada kesediaan pengampu.
Sinkronisasi UU TPKS
Komnas Perempuan sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Undang-undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen, mendorong mandat bahwa setiap warga negara Indonesia harus bebas dari diskriminasi. Termasuk kaitannya dengan peraturan perundang-undangan agar disusun dengan sensitivitas gender.
Maka dari itu, Komnas Perempuan mendorong agar perumusan aturan-aturan yang ada, tidak menguatkan diskriminasi pada perempuan, terutama melalui Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan RKUHP ini.
Dilansir dari Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan pernah mendesakkan beberapa usulan upaya penguatan yang disarankan terhadap RKUHP. Pertama, yaitu penegasan dalam RKUHP bahwa jenis kekerasan seksual (KS) seperti perkosaan, pencabulan dan persetubuhan, melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran, merupakan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU TPKS.
Kedua, Komnas Perempuan juga mendorong adanya upaya mengharmonisasi pengaturan TPKS dalam RKUHP dengan pasal 4 ayat (2) di ketentuan peralihan. Dalam ketentuan peralihan, dinyatakan pasal 404 yang terkait TPKS, sehingga hukum acara dan hak-hak korban tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang melindungi korban TPKS (UU TPKS).
Perbuatan cabul yang ada di bawah tindak pidana kesusilaan juga diharapkan bisa dipindahkan ke dalam tindak pidana tubuh. Istilah kesusilaan itu merupakan perlindungan terhadap masyarakat, bukan pada korban. Sehingga korban rentan mengalami reviktimisasi.
“Komnas Perempuan juga merekomendasikan terkait aborsi, yang tidak hanya berlaku bagi korban TPKS yang kehamilannya tidak melebihi 12 minggu dan memiliki kedaruratan medis, melainkan untuk semua korban KS yang membutuhkan,” ujar Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan dalam diskusi Twitter Spaces Komnas Perempuan bertajuk Gender Based Violence dan Sinkronisasi RKUHP dengan UU TPKS, Senin (24/10/2022) lalu.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum menambahkan, pentingnya merevisi mengenai aborsi yang selama ini hanya pengecualian pada korban perkosaan dan memiliki kedaruratan medis. Namun semestinya harus menyertakan korban kekerasan seksual lainnya seperti pemaksaan pelacuran, korban perbudakan seksual dan eksploitasi seksual yang juga berhak melakukan aborsi.
Di sisi lain, dia berpendapat seharusnya tidak perlu ada batasan usia kehamilan yang memungkinkan aborsi korban kekerasan seksual. Sebab tidak semua korban yang hamil bisa langsung memahami kondisinya. Terlebih, soal akses dan pengetahuan yang tidak merata termasuk jika korbannya adalah anak-anak.
“Penting dalam sistem hukum di Indonesia untuk memiliki keberpihakkan pada korban kekerasan seksual,” katanya.
Sinkronisasi KUHP dan UU TPKS tersebut menjadi penting untuk hukum acara dan pemenuhan hak-hak korban. Dikarenakan dalam KUHP belum menjamin hak-hak korban, serta tidak ada perlindungan pada saksi.
“UU TPKS menjelaskan hak-hak korban dan juga saksi, tetapi juga perlu dipahami bahwa korban jangan hanya ditempatkan sebagai alat bukti atau objek saja, tapi juga sebagai subyek yang kondisi dan kebutuhannya harus dipenuhi,” pungkasnya.
Untuk itu kami menolak pengesahan RKUHP yang masih banyak masalah ini. Mari bersama lakukan aksi tutup mulut yang melambangkan pembungkaman partisipasi masyarakat dalam ikut memberi masukan dalam revisi KUHP oleh pemerintah dan DPR.
sumber: konde.co