Artikel

Minimnya Perhatian dan Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Situasi Kesehatan Seksual Reproduksi dan Akses Aborsi Aman

Pada Universal Periodic Review (UPR) siklus ke-3 yang digelar pada tahun 2017, terdapat setidaknya 9 rekomendasi yang berkaitan dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang diberikan kepada Indonesia dalam momentum pertemuan negara-negara anggota PBB tersebut. Dari rekomendasi yang didapatkan, 4 rekomendasi telah diterima oleh delegasi negara Indonesia. Salah satu rekomendasi dari negara Kolombia, “Amplifikasi upaya-upaya dalam memastikan akses ke pendidikan seks juga kesehatan seksual dan reproduksi di penjuru Indonesia dengan tujuan mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan memberantas AIDS, kehamilan dini, aborsi yang dilakukan dalam situasi rentan resiko, kehamilan anak, kekerasan dan eksploitasi seksual,” telah diterima oleh Indonesia. Sepanjang rekomendasi tersebut diterima, ada kemajuan yang diupayakan oleh pemerintah dalam konteks HKSR, namun layanan yang spesifik terkait dengan akses aborsi aman bagi kehamilan yang tidak direncanakan dan yang beresiko, tidak turut merasakan kemajuan ataupun upaya yang serupa.

Meskipun UU 09/2009 tentang Kesehatan dan PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah memberikan basis pengecualian kriminalisasi bagi korban kekerasan seksual dan indikasi darurat medis berkaitan dengan akses aborsi legal, kendala-kendala seperti regulasi yang tidak terimplementasi, kurangnya pelatihan peningkatan kapasitas dan diseminasi pengetahuan bagi tenaga kesehatan– menghadirkan situasi berulang dimana tenaga kesehatan merasa berhak menolak memberikan layanan kesehatan aborsi aman, bahkan bagi individu yang masih memenuhi persyaratan dalam kerangka regulasi yang tersedia.

Dalam pemantauan SAWG, kriminalisasi aborsi telah menyulut 108 vonis kriminal di penjuru Indonesia Barat, Tengah, dan Timur dari tahun 2019 hingga 2021. Dari 31 vonis yang ada, perempuan atau remaja yang melakukan aborsi yang mengalami kriminalisasi. Selain itu, 54 penyedia layanan dan pihak yang menjual obat-obatan pemicu aborsi dikriminalisasi, begitu pula 46 orang yang memberikan pendampingan, informasi, dan obat-obatan. Dari 108 vonis tersebut, 51 di antaranya terkait dengan sanksi pidana dalam UU Kesehatan, 36 terkait dengan sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak, dan 21 vonis secara tegas mengacu pada sanksi dalam KUHP. Dalam salah satu kasus yang terdokumentasi, terdapat korban perkosaan mendapatkan kriminalisasi dengan dasar UU 34/2014 tentang Perlindungan Anak. WA anak perempuan berusia 15 tahun di Jambi, diperkosa oleh kakaknya lalu hamil. Karena menyudahi kehamilannya, WA dituding majelis hakim, “telah melukai anak yang berada di dalam kandungannya” meskipun WA pada saat itu juga masih dikategorikan sebagai anak.

Kendatipun akses atas aborsi aman bagi penyintas perkosaan telah diakui dalam aturan perundangan Indonesia, otorisasi akses ke informasi beserta layanannya menghadapi tantangan yang signifikan. Penyintas dihadapkan pada batasan usia kehamilan yang terlampau singkat serta terbatas di usia kehamilan 6 minggu atau 40 hari saja–dalam konteks dimana ketersediaan sistem dukung dan informasi yang mumpuni bagi semua kelompok umur dan identitas tidak dapat dipastikan. Hal ini diperumit dengan proses birokrasi yang panjang yang menyebabkan penundaan ke akses kesehatan seksual dan reproduksi yang dibutuhkan penyintas, serta stigma sosial yang terkait dengan aborsi ataupun perkosaan–yang diekspresikan bukan hanya oleh masyarakat secara umum, tetapi juga oleh tenaga kesehatan, aparat penegak hukum, dan bahkan oleh pejabat pemerintahan.

Dalam poin akses aborsi bagi individu dengan indikasi ‘kedaruratan medis’, poin konseling
yang menjadikan penyampaian informasi yang lengkap dan akurat sebagai imperatif patut
mendapatkan apresiasi. Namun, pembatasan otorisasi akses ke informasi melalui konseling serta
layanan aborsi yang mengharuskan otorisasi pihak ketiga baik itu dari orang tua untuk individu
yang masih berusia dibawah 18 tahun dan dari suami bagi perempuan yang sudah menikah,
menciptakan kerentanan. Berdasarkan laporan kasus temuan SAWG, ketiadaan akses dan
penolakan pemberian layanan bahkan untuk situasi kedaruratan medis ini telah menambah resiko
kesakitan yang harus dihadapi perempuan hingga menyebabkan kematian.

SAWG dalam hal ini menilai bahwa kriminalisasi aborsi, restriksi akses bagi korban perkosaan, dan restriksi bagi individu dengan indikasi kedaruratan medis, telah melanggar bukan hanya hak atas hidup, tapi juga hak atas privasi dan otonomi, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas standar kesehatan yang tertinggi, hak atas pendidikan, hak untuk bebas diskriminasi, serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan bentuk perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan. Oleh karenanya dalam joint submission UPR cycle ke-4 ini, SAWG memberikan rekomendasi:

  1. Amandemen semua undang-undang dan kebijakan yang mengkriminalisasi dan/atau membatasi akses layanan aborsi yang aman, terutama layanan bagi korban perkosaan dan individu dengan indikasi kedaruratan medis.
  2. Mendorong pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan pelatihan bagi tenaga kesehatan dan konselor, minimal dalam bentuk Value Clarification dan pendekatan kolaborasi interprofesional, untuk memastikan adanya perspektif HAM dalam pemenuhan akses kesehatan sesuai pedoman terbaru WHO.
  3. Penguatan pemahaman dan kepekaan aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap penyedia layanan dan individu yang berusaha mengakses layanan aborsi aman sebagai bagian dari pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.
  4. Melibatkan kelompok masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan pemberian informasi terkait kehamilan yang tidak direncanakan, termasuk pemantauan, dan evaluasi pelaksanaannya, serta pemberian dukungan konseling.

Pada Siklus UPR ke-4 yang digelar pada 9 November 2022 lalu, pemerintah Indonesia memaparkan situasi yang dapat diapresiasi diantaranya capaian atas peningkatan usia perkawinan dalam revisi UU Perkawinan, dan pengesahan UU TPKS. Sebuah capaian yang tentu saja perlu terus dikawal dalam proses implementasinya. Namun di luar capaian tersebut, terdapat banyak persoalan yang mendapat sorotan dari negara-negara lain yang secara spesifik menyebutkan dorongan agar pemerintah Indonesia menguatkan perlindungan bagi isu seksualitas, kelompok ragam orientasi seksual, memastikan adanya langkah yang terukur dalam eliminasi kekerasan berbasis gender, termasuk upaya penguatan penyediaan comprehensive sexual education termasuk di dalamnya akses ke aborsi aman.

Dari respon yang diberikan negara-negara lain, sangat disayangkan pemerintah Indonesia kurang siap dalam menyediakan tanggapan dan terlihat minim perhatian terhadap isu-isu yang disampaikan oleh berbagai negara terhadap situasi pemenuhan HAM di Indonesia. Dengan perhatian yang diberikan oleh negara-negara, pada isu seksualitas, kekerasan berbasis gender, kesehatan reproduksi, dan aborsi aman sudah seharusnya pemerintah Indonesia memberi perhatian sebagai persoalan utama. Untuk itu, kami menyatakan:

  1. Kekecewaan pada pemerintah Indonesia yang kurang siap merespon isu seksualitas, kekerasan berbasis gender, hak kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, dan akses aborsi aman,
  2. Mendesak komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian pada isu seksualitas, kekerasan berbasis gender, hak kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, dan akses aborsi aman yang semestinya dilakukan sebagai upaya untuk mencapai SDGs sebagaimana telah disampaikan melalui laporan-laporan masyarakat sipil yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia dalam siklus UPR ke-4 ini
  3. Mendorong pemerintah Indonesia untuk mendukung rekomendasi dari negara-negara lain untuk isu kesehatan reproduksi, perlindungan perempuan dan anak, perluasan dan distribusi edukasi seksualitas komprehensif hingga di rural remote area, termasuk akses aborsi aman.
Press Release Save All Women and Girls, November 2022