Artikel

Pandemi Berkepanjangan, Perkawinan Anak Makin Meningkat

Pernikahan usia anak menjadi salah satu problem besar bagi bangsa Indonesia. Masih dalam suasana memperingati hari anak nasional seakan ternodai dengan persoalan pelik ini, bahkan kasus perkawinan usia anak cenderung meningkat seiring masa pandemi covid-19 yang seakan tiada akhir.

Padahal peraturanya sudah jelas, sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 7 UU tersebut menyebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

Jawa Barat salah satunya menjadi provinsi penyumbang angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.

Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Susilowati Suparto, M.H., peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga. Para pekerja yang juga orang tua tersebut seringkali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga.

Di beberapa daerah juga menunjukan tren peningkatan permintaan dispensasi nikah. Contohnya dari catatan  pengadilan Agama Kelas IA  Kota Semarang, kasus pernikahan yang melibatkan anak-anak menunjukan tren peningkatan yang signifikan. Tercatat, dari Januari hingga April tahun ini jumlah pengajuan dispensasi nikah di Kota Semarang telah menyentuh angka 100 kasus.

Beberapa kabupaten di Jawa Tengah juga mengalami peningkatan, di antaranya Kabupaten Kendal mencapai 179 kasus, atau naik naik dari tahun 2019 sebanyak 125 kasus.  Kabupaten Rembang mencapai 150 kasus atau naik dari tahun 2019 sebanyak 70 kasus. Serta Kabupaten Demak 157 kasus di tahun 2020 dalam kurun 6 bulan. Serta  Kabupaten Blora melonjak mencapai 203 atau naik dua kali lipat dari tahun 2019 sebanyak 100 kasus.

Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dari Universitas 17 Agustus Semarang, Indra Kertati, mengaku prihatin dengan tingginya pernikahan perempuan di usia anak saat pademi Covid-19.  Fenomena peningkatan perkawinan usia anak kali ini sebagai hadiah terburuk di Hari Anak Nasional.

Ia menilai selain karena faktor ekonomi saat pandemi, trend nikah muda yang dipertontonkan di media sosial, TV, berita-berita artis atau tokoh terkenal, maupun tontonan film layar lebar  menginsipirasi remaja mengambil keputusan untuk menikah usia muda.

Kurangnya pengawasan orangtua terkait kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Susilowati menuturkan, aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orangtua terhadap anaknya sangat lemah.

Faktor kurangnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang benar juga menjadi faktor sehingga anak dalam kondisi tidak terawasi akan bebas melakukan “pacaran berisiko”, karena banyak juga kasus peningkatan permintaan dispensasi nikah karena pihak pengaju beralasan calon pengantin perempuan sudah dalam keadaan hamil.

Menurut Kertati, upaya afirmasi yang harus digerakan secara khusus meningkatkan pendidikan seks khususnya pada reproduksi sehat. Selain itu daya jangkau pemerintah daerah dapat diperluas dengan meletakan tanggungjawab pada pemerintah desa dan kelurahan.

Orang tua, tokoh masyarakat, juga wajib untuk mendengarkan suara anak-anak, mencegah pacaran dengan kekerasan, mengembalikan marwah pendidikan agama sebagai basis dalam pencegahan perkawinan anak, Menggunakan ajaran kebaikan, ketulusan dan saling menolong antara sesama mencegah kekerasan berbasis seksual yang terjadi pada remaja dengan pacaran yang vulgar.

Pengadilan baiknya tak permudah izin dispensasi nikah

Praktik perkawinan anak didapati tetap marak meski pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Selain itu, ada aturan yang menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya bisa dimohonkan dispensasi ke pengadilan. Namun faktanya, regulasi ini belum menekan praktik pernikahan dini di Indonesia. Dispensasi ke pengadilan semakin meningkat.

Dosen FH Unpad Sonny Dewi Judiasih menjelaskan, praktik perkawinan usia anak rentan terjadi karena banyak faktor, dengan keadaan pandemi seperti saat ini makin memicu risiko terjadinya perkawinan usia anak. Semestinya, saran Sonny, pengadilan jangan mempermudah izin dispensasi kawin. Fakta di lapangan, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim.

Hakim sepatutnya mempertimbangkan alasan yang menjadi dasar permohonan dispensasi, pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak.

Hal senada juga disampaikan oleh Dony Hendocahyono yang merupakan salah satu pembina YKP dalam kegaitan pelatiahan media kampanye untuk dukungan publik terhadap pencegahan perkawinan anak beberapa waktu lalu. Ia menegaskan hakim juga seharusnya berperan sebagai “orang tua” yang justru dengan mandat peraturan MA tersebut wajib melindungi anak agar tidak mendapat masalah kelak apabila tetap melangsungkan perkawinan.

Dirangkum dari berbagai sumber