Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum yang menjamin pemenuhan hak bagi setiap korban kekerasan seksual telah hadir sebagai harapan bagi setiap masyarakat. Namun tentu saja setiap kebijakannya harus didukung oleh layanan yang terpadu dan komprehensif pula. Pada proses implementasinya, UU ini harus diperkuat dengan kebijakan pendukung seperti Peraturan Pemerintah yang dapat memberikan petunjuk teknis secara detail bagaimana kebijakan ini diimplementasikan. Ketersediaan layanan yang terpadu menjadi hal yang wajib untuk memenuhi hak korban secara komprehensif. Pembahasan mengenai layanan yang komprehensif dan penyusunan PP ini, tentunya harus dilengkapi dengan rekomendasi dari masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mendampingi dan hadir di sisi korban.
Menindaklanjuti hal tersebut, dirasa perlu adanya koordinasi dan diskusi bersama jaringan organisasi yang fokus pada pengawalan implementasi UU TPKS dan yang ada pada isu HKSRR. Oleh karena itu, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama koalisi SETARA2030 menginisiasi Focus Group Disscussion (FGD) yang dilaksanakan seara offline dan online dan dihadiri oleh OMS dan Individu Ahli pada tanggal 2 November 2022 di Jakarta.
Dalam kegiatan ini dilakukan proses Identifikasi dan update terkait implementasi PP 61 /2014 dan PMK No 3/2016 dan kesiapan implementasi UU TPKS, Juga dilakukan review terhadap penyusunan PP UPTD dan Layanan secara bersama. dan analisis tantangan implementasi dan kebutuhan operasionalisasi UU TPKS.
FGD diawali dengan pemaparan oleh dengan narasumber Ika Ayu Kristianingrum yang membahas situasi pemenuhan akses kesehatan reproduksi saat ini. Pemaparan di lanjutkan oleh Ratna Batara Munti yang mebagikan hasil analisis tantangan implementasi dan kebutuhan operasionalisasi U TPKS. Sesi dilanjutkan dengan FGD yang dibagi dalam beberapa kelompok untuk memberikan masukan dan saran terhadap draft PP dan usulan bagaimana bentuk layanan bagi korban kekerasan seksual yang komprehensif.
FGD mengidentifikasi beberapa catatan akan tantangan dan kebutuhan yang diperlukan dalam mengawal layanan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual :
- Masih ada stigma pada isu aborsi bahkan di dalam gerakkan Perempuan. Termasuk salah paham dalam memahami kontrasepsi darurat (Kondar) dianggap melakukan aborsi.
- Pendokumentasian kasus-kasus dan keputusan pengadilan.
Salah satunya: Apakah ada yang melakukan analisis putusan pengadilan, celah pasal di kesehatan. Seperti di Jambi. UU Kesehatan sangat minimalis mengatur usia kehamilan yang dapat diaborsi 6 minggu, hal ini tidak relevan dengan korban yang baru tahu jika dirinya hamil setelah 6 minggu. - Perlunya pemetaan praktik-praktik baik atau terobosan yang telah dilakukan dalam pemenuhan pelayanan HKSR yang komprehensif guna memperkuat upaya mendorong layanan Kesehatan reproduksi bagi korban kekerasan seksual (KS) termasuk aborsi aman
- Pentingnya peran Media, karena masih ada media yang belum mampu menangkap isu Kespro yang komprehensif atau berperspektif Perempuan dan korban KS.
- Keterbatasan pada pengadaan dokter spesialis yang memberikan layanan aborsi aman
- LPSK: tantangan pada perlindungan saksi dan pembiayaan penanganan & pemulihan korban KS
- Pasal pada RKUHP masih mengancam Perempuan. Adanya desakkan memasukan pemaksaan aborsi di RKUHP oleh beberapa pihak pengusung UU TPKS. Hal ini menjadi catatan apakah akan mepersulit pelaksanaan layanan aborsi yang ditunggu-tunggu sekian lama atau sebaliknya.
Catatan rekomendasi yang diberikan, yaitu:
- Menindaklanjuti advokasi kebijakan turunan PP atau PMK agar sejalan dengan prinsip dalam UU TPKS (Membutuhkan pendapat ahli negara) Perpres UPTD & PP Tata Cara
- Mainstreeming isu layanan aborsi bagi korban KS, termasuk pada jaringan yang mengawal UU Tindak Pidana Kekerasan Sekual (UU TPKS) harus juga mengawal isu kesehatannya yang juga bagian dari turunan UU TPKS selain UU Kesehatan.
Layanan terpadu bagi korban KS bisa menjadi “payung” sehingga penting untuk menyusun strategi bersama dan tantangannya pada isu aborsi lebih berat dari segi value/nilai. Sehingga ada asumsi mengapa di Kemenkes mereka kurang terbuka. - Memantau dan mengawal progress di Kemenkes
- Melakukan Judicial Review UU Kesehatan sebagai upaya menghapus pasal yang berpotensi mengkriminal Perempuan dan petugas Kesehatan
- Melakukan class action