Menjadi korban perkosaan dan mengalami kehamilan merupakan situasi terberat yang harus dihadapi perempuan korban. Selain luka fisik, korban mengalami trauma psikologis. Namun, layanan aborsi aman sulit diakses korban.
Kendati Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan dan atas dasar indikasi medis, hingga kini implementasinya belum berjalan. Hingga kini Kementerian Kesehatan belum menunjuk fasilitas kesehatan yang dapat menyediakan layanan aborsi aman. Padahal, ketentuan aturan pelaksana dari undang-undang tersebut sudah terbit sejak 2016.
Sampai saat ini layanan aborsi aman masih belum dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan seksual. Padahal, tidak ditunjuknya layanan tersebut berdampak besar pada korban perkosaan, termasuk anak-anak yang terpaksa harus menjalani kehamilan yang tidak diinginkan. Ketentuan hukum yang memberikan batasan 40 hari usia kehamilan yang dapat dilakukan aborsi untuk korban perkosaan juga semakin menyulitkan kondisi korban perkosaan.
”Seperti yang terjadi di Jombang, Juli 2021 lalu, anak berusia 12 tahun korban perkosaan oleh laki-laki 56 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan, permohonan aborsinya ditolak oleh penyidik dengan alasan belum ada pengalaman. Hal ini jelas disebabkan tidak ada fasilitas kesehatan yang ditunjuk,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rabu (28/9/2022).
Maka, dalam rangka memperingati Hari Aborsi Aman Sedunia, ICJR mendesak Kementerian Kesehatan untuk segera menunjuk fasilitas kesehatan yang menyediakan aborsi aman di Indonesia sesuai amanat UU Kesehatan. Untuk pembaruan hukum, pemerintah dan DPR juga diminta agar memperkuat pengaturan yang membolehkan aborsi untuk korban kekerasan seksual bisa sampai dengan 28 minggu atau dikembalikan pada angka 16 minggu. Hal ini penting untuk memberikan peluang lebih besar untuk membangun sistem kesehatan yang menyediakan aborsi aman.
ICJR menemukan tidak banyak penelitian yang melaporkan kebutuhan aborsi aman atau penghentian kehamilan di Indonesia. Hal ini disebabkan ketentuan hukum yang masih melarang sepenuhnya kegiatan berkaitan dengan aborsi, kecuali hanya dengan pengecualian yang terbatas.
Pada 9 Maret 2022 WHO menerbitkan panduan baru tentang Abortion Care untuk memberikan panduan kepada negara-negara untuk menyusun kebijakan aborsi aman. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa negara harus menghapuskan ketentuan hukum yang membatasi aborsi dengan batasan usia kehamilan.
”WHO menyatakan bahwa batasan usia tersebut bersifat tidak berbasis ilmu pengetahuan, dan saat ini aborsi aman dengan perkembangan teknologi dapat dilakukan hingga usia kehamilan 28 minggu,” ujar Maidina.
Trauma psikologis
Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta Sari mengatakan, kekerasan seksual termasuk perkosaan merupakan salah satu hal terburuk dan terberat yang dapat dialami perempuan. Korban mengalami sekaligus luka fisik dan trauma psikologis yang membutuhkan waktu untuk sembuh.
“Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, korban perkosaan harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak diharapkan.”
Kehamilan akibat kekerasan seksual menimbulkan penderitaan yang memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya juga telah mengalami trauma psikologis berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma tersebut juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung oleh korban.
Oleh karena itu, mayoritas korban perkosaan menolak kehamilannya. Belum lagi beban dan tekanan yang harus dihadapi korban ketika harus membesarkan anak dari peristiwa perkosaan. ”Maka, aborsi kemudian menjadi alternatif pilihan korban bila terjadi kehamilan akibat tindak perkosaan,” ujar Nanda.
Situasi dan kondisi yang dialami korban perkosaan, di mana kehamilan akibat perkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban, seharusnya hal itu dapat dijadikan sebagai alasan darurat (pemaksa) untuk melakukan aborsi. Hal tersebut juga perlu menjadi pertimbangan penegak hukum dalam menerapkan sanksi pidana.
Sebab, janin yang diaborsi adalah sebagai akibat pemaksaan hubungan (perkosaan) dengan ancaman kekerasan. Adapun perkosaan merupakan tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun sesuai Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Di sisi lain, korbannya harus mendapat perlindungan hukum yang salah satu caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak lain (tekanan psikologis). ”Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian sehingga seharusnya legal dilakukan,” kata Nanda.
Kendati aturan turunan dari UU Kesehatan yang mengatur aborsi aman sudah keluar, hingga saat ini layanan aborsi sesuai UU Kesehatan masih belum dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan seksual. Hal ini menyebabkan perempuan dan petugas kesehatan rentan dikriminalisasi.
”Alasan belum diimplementasikan layanan aborsi menurut UU dan peraturan pemerintah bisa jadi karena isu aborsi aman masih mendapatkan stigma sehingga berpengaruh pada pro dan kontra layanan ini. Namun, pembatasan pada layanan aborsi aman bukan berarti mengurangi kebutuhan perempuan dalam mencari layanan tersebut. Sebab, kekerasan seksual sendiri semakin marak terjadi,” ujar Nanda.
Apalagi, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mengatur layanan aborsi aman harus tersedia karena bagian dari pemenuhan hak perempuan. Hak tersebut harus dipenuhi oleh negara. Sebab, isu aborsi aman merupakan isu kesehatan di mana harus menjadi bagian layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif, yang berpusat pada keputusan perempuan atas kehamilannya.
Oleh: SONYA HELLEN SINOMBOR
Sumber: Kompas.id