Hari Buruh atau May Day ditetapkan pada tanggal 1 Mei secara internasional. Dilansir dari laman Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, sejarah penetapannya mengacu pada peristiwa bersejarah ketika serikat buruh di Amerika Serikat melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 1 Mei 1886. Demonstrasi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kondisi kerja yang sangat eksploitatif pada masa itu, di mana para pekerja dipaksa bekerja 12 hingga 20 jam per hari. Aksi tersebut kemudian memancing reaksi yang besar di berbagai negara sehingga ditetapkanlah tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia.
Di Indonesia sendiri, Hari Buruh baru secara nasional diperingati pada era pendudukan Belanda tahun 1918. Pada masa itu, rakyat Indonesia mengalami perlakuan yang tidak adil dan dieksploitasi di berbagai bidang. Hal itu memicu berbagai gerakan politik dan organisasi buruh yang berjuang untuk meningkatkan kondisi hidup rakyat. Maka pada tahun 1918, serikat-serikat buruh di Indonesia mengadakan mogok kerja pada tanggal 1 Mei sebagai bentuk protes terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang mereka alami.
Sayangnya, kata “Buruh” masih mendapatkan stigma oleh masyarakat yang masih menganggap “Buruh” adalah seorang pekerja kasar, berbeda dengan pekerja perusahaan di posisi tertentu yang lebih identik dengan sebutan “karyawan”. Ada ketimpangan yang dilabeli oleh masyarakat terkait buruh dan karyawan berdasarkan penghasilan, lingkungan kerja dan posisi/jabatan. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Buruh memiliki makna orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Artinya, tidak bergantung pada suatu jabatan tertentu.
Jika kita menelisik lebih dalam lagi dan mempertanyakan apakah lingkungan/dunia kerja saat ini telah berjalan secara setara di antara perempuan dan laki-laki serta kelompok minoritas lainnya seperti kelompok disabilitas? bagaimana pekerja perempuan masih mendapatkan stigma dan diskriminasi karena masih adanya dominasi budaya patriarki? dapat dilihat dari kebijakan yang timpang bagi pemenuhan hak pekerja perempuan termasuk kesehatan reproduksinya serta masih ada pemberi kerja yang merasa pemenuhan hak perempuan di tempat kerja adalah sebuah ‘beban’. Kita biasa mengenalnya dengan ketidaksetaraan gender di tempat kerja. Isu kesetaraan gender merupakan isu yang beririsan dengan berbagai aspek kehidupan dimasyarakat yang masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.
Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional, melalui program Podcast YKP: PowerPuan ingin mengambil peran untuk berdiskusi dan menyuarakan perjuangan buruh perempuan dalam pemenuhan haknya sebagai pekerja perempuan di lingkungan kerja bersama Nining Elitos dari Federasi KASBI, yang aktif melakukan advokasi pemenuhan hak pekerja, termasuk pekerja perempuan.