Di Indonesia terdapat 84,4 juta anak yang wajib untuk dilindungi, seperti yang sudah diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak dan tertera dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam undang-undang tersebut Negara wajib memenuhi hak-hak dasar anak agar dapat tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan perlindungan dari semua bentuk kekerasan fisik, mental, kerusakan, atau perlakuan salah.
Sayangnya, surat kabar pada akhir-akhir ini mencatat banyak kasus kekerasan terhadap anak berbentuk perundungan (bullying) yang terjadi di lingkungan sekolah maupun lingkungan komunitas. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tercatat pada rentang Januari hingga November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki.
Mengutip dari website UNICEF Indonesia, biasanya dapat bullying biasa bisa diidentifikasi melalui tiga karakteristik berikut: disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Seorang pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik menyakiti fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali. Sehingga ini dapat menimbulkan dampak yang berbahaya dan jangka panjang bagi anak-anak. Selain efek fisik dari bullying, anak dapat mengalami masalah kesehatan mental, emosional, termasuk depresi dan kecemasan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan narkoba dan penurunan prestasi di sekolah. Selain bullying yang dilakukan secara langsung, tren lain juga yang terjadi di era digital adalah bullying secara online yaitu cyberbullying. Cyberbullying dapat menjangkau korban di mana saja dan kapan saja. Dan dapat menyebabkan bahaya besar karena dapat dengan cepat menjangkau khalayak luas dan meninggalkan jejak permanen secara online untuk semua yang terlibat di dalamnya.
Salah satu faktor terjadinya bullying pada anak adalah kurangnya informasi pendidikan terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Pendidikan HKSR yang menyeluruh (komprehensif) adalah seperangkat pengetahuan yang di dalamnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, tetapi juga life skills (sikap asertif, sikap sosial dengan teman, keluarga dan lingkungan sekitar) dan pengetahuan mengenai gender yang bertujuan mempersiapkan remaja dan anak muda dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai untuk membuat keputusan terkait dengan kehidupan sosial.
Materi HKSR ini penting diketahui tidak hanya oleh anak, melainkan semua aktor yang terlibat pada terjadinya kekerasan pada anak, khususnya orangtua dan tenaga pendidik sebagai pihak pertama yang secara strategis dapat membantu anak memahami persoalan HKSR secara benar dan baik di mana ada ruang pelibatan dan penghargaan terhadap diri anak sendiri, bahwa anak akan mampu membuat keputusan yang bertanggungjawab bagi dirinya tanpa perlu ditakut-takuti sehingga terhindar dari persoalan kekerasan.
Dalam acara Podcast PowerPuan yang berdiskusiterkait pencegahan dan penanganan bullying dan kekerasan lainnya pada anak, Psikolog Vitria Lazzarini, M.Psi mengatakan bahwa. Orang tua juga harus dibekali pengetahuan HKSR untuk bisa menyampaikan ke anaknya. Karena selama ini bahas HKSR bukan hanya soal organ reproduksi saja. Padahal banyak yang bisa dipelajarinseperti ada soal kekerasa dan pertumbuhan badan/fisik remaja, dan itu bukan bahan bercandaan.
Soal pubertas sering menjadi bahan becandaan yang mengarah kepada bullying, padahal menurut Vitria, hal ini banyak anak-anak remaja yang mengalamai dan kena. Nah, dengan meahami materi HKSR yang materinya tidak hanya ngomongin soal alat reproduksi tapi juga kita belajar soal bagaimana bersikap aservis, dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Selengkapnya perbincangan ini bisa anda simak di Podcast PowerPuan yang diadakan oleh YKP di kanal youtube YKP.TV dan Spotify. Atau anda bisa tonton di sematan video di bawah ini.